BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Agenda Baru Manusia - Media Publikasi

Header Ads

test

Agenda Baru Manusia


Agenda Baru Manusia


Perjuangan melawan usia tua dan kematian hanyalah sebuah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan sepanjang zaman melawan kelaparan dan penyakit, serta memanifestasikan nilai tertinggi budaya kontemporer kehidupan manusia. 
Agama-agama dan ideologi-ideologi tak secara tegas menyucikan atau menguduskan kehidupan itu sendiri. Para agamais selalu menyakralkan sesuatu yang di atas atau di luar eksistensi duniawi, dan karenanya cukup toleran pada kematian. 
Tapi, sebagian dari mereka mengagungkan malaikat maut. Karena para agamais menegaskan bahwa makna eksistensi kita bergantung pada nasib kita di akhirat, sebagian berasumsi bahwa kematian adalah elemen vital dan positif dari dunia. Dan manusia mati karena Tuhan menetapkannya dan itu adalah empiris metafisik sakral yang sarat makna.
Tetapi, sains modern dan kultur modern memiliki pandangan yang sama sekali berbeda tentang kehidupan dan kematian. Sains modern tidak menganggap kematian adalah sebuah hal yang misteri metafisik dan tidak memandang bahwa kematian bukanlah suatu makna kehidupan. 
Bagi orang-orang modern, kematian adalah sebuah masalah teknis yang bisa dan sebuah hal yang seharusnya dipecahkan. Dalam realitas, manusia tidak mati karena sosok yang metafisik (malaikat maut), karena Tuhan menetapkannya, atau karena mortalitas adalah bagian esensial dari rencana kosmis.
Akan tetapi, manusia selalu mati karena suatu kesalahan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Arteri utama tersumbat oleh timbunan lemak. Sel-sel kanker menyebar di hati. Kuman berbiak di paru-paru. Lalu, apakah yang menjadi penyebab dari semua masalah teknis itu?
Masalah-masalah teknis lainnya. Jantung berhenti memompa darah karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot jantung. Sel kanker yang menyebar ditubuh kita karena ada mutasi genetik tiba-tiba menulis kembali intruksi mereka. 
Maka dalam hal ini, sains modern berasumsi bahwa tidak ada yang metafisik dalam hal ini. Dan semuanya itu adalah masalah teknis. Dan, setiap masalah teknis memiliki solusi teknisnya sendiri. 
Sekumpulan manusia nyentrik di lab bisa melakukannya. Jika secara kebudayaan kematian menjadi keahlian para pendeta dan teolog, kini para insinyur mengambil alihnya. Kita bisa membunuh sel-sel kanker dengan kemoterapi atau robot nano. Kita bisa menumpas kuman dalam paru-paru dengan antibiotik. Jika jantung berhenti memompa, kita bisa menghidupkannya kembali dengan mencangkokkan jantung baru. 
Benar, saat ini kita belum punya solusi-solusi atas semua masalah teknis. Namun, inilah alasan persisnya kita menginvestasikan banyak waktu dan uang dalam meneliti kanker, kuman, genetika, dan teknologi nano.
Bahkan, orang-orang biasa yang tidak terlibat dalam riset saintifik sudah terbiasa berpikir tentang kematian sebagai masalah teknis. Ketika seorang perempuan datang ke dokter dan bertanya, "Dokter, apa yang terjadi pada saya?". Probabilitas dokter mengatakan, "Anda terjangkit kanker." Namun, dokter itu tidak akan pernah mengatakan, "Anda terkena kematian." Dan, kita semua memiliki pemahaman bahwa flu, tuberkulosis (TBC) dan kanker adalah masalah-masalah teknis, yang suatu hari nanti kita mungkin akan menemukan solusi-solusi teknisnya penyakit itu sendiri.

Sekalipun orang mati dalam badai, kecelakaan mobil atau perang, kita cenderung memandangnya sebagai kegagalan teknis yang seharusnya bisa dicegah. Kalau saja pemerintah mengambil kebijakan yang lebih baik, kalau saja pemerintah kota melakukan tugasnya dengan benar, dan seandainya pemerintah militer mengambil keputusan yang lebih bijaksana, kematian pastinya tak akan terjadi ataupun bisa dihindarkan. 
Kematian sudah menjadi dan hampir otomatis alasan gugatan hukum dan investigasi. "Mengapa mereka sampai mati?" Seseorang di suatu tempat pasti membuat kekacauan sehingga terjadinya kematian yang didasari atas perlakuan manusia itu sendiri.

Mayoritas ilmuwan, dokter, dan sarjana masih menjaga jarak dari sebuah impian akan imortalitas yang belakangan marak. Mereka mengklaim hanya berusaha mengatasi masalah teknis tertentu yang ini atau yang itu. 
Namun, karena usia tua dan kematian bukanlah akibat dari apa-apa selain masalah teknis tertentu, tidak bisa ditentukan dokter dan ilmuwan manakah yang akan berhenti dan mendeklarasikan. Sejauh ini, dan tidak ada jalan lain, kita telah mengatasi tuberkulosis dan kanker, tetapi kita tidak akan mampu mengangkat jari untuk memerangi Alzheimer.
Orang-orang bisa terus sekarat karena itu, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tidak menyatakan bahwa manusia punya "Hak untuk hidup sampai usia 90 tahun". Deklarasi itu menyatakan bahwa setiap manusia punya hak untuk hidup, titik. Hak itu sama sekali tidak dibatasi oleh tanggal kedaluwarsa ataupun batasan untuk hidup.
Karena itu, minoritas ilmuwan dan pemikir yang terus bertambah jumlahnya berbicara lebih terbuka dewasa ini, dan menyatakan bahwa misi prioritas sains modern adalah mengalahkan kematian dan memberi manusia hidup di usia muda itu akan tetap abadi hingga tercapainya hak untuk hidup itu sendiri tanpa sebuah batasan.
Sumber:
Harari, Yuval Noah. 2015, Homo deus: Masa Depan Umat Manusia, Cet. 2 -Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Juni 2018.


  Ditulis oleh :
Riansyah Razak

No comments