Agenda Baru Manusia
Agenda Baru Manusia
Agama-agama dan ideologi-ideologi
tak secara tegas menyucikan atau menguduskan kehidupan itu sendiri. Para
agamais selalu menyakralkan sesuatu yang di atas atau di luar eksistensi
duniawi, dan karenanya cukup toleran pada kematian.
Tapi, sebagian dari mereka
mengagungkan malaikat maut. Karena para agamais menegaskan bahwa makna
eksistensi kita bergantung pada nasib kita di akhirat, sebagian berasumsi bahwa
kematian adalah elemen vital dan positif dari dunia. Dan manusia mati karena
Tuhan menetapkannya dan itu adalah empiris metafisik sakral yang sarat makna.
Tetapi, sains modern dan kultur
modern memiliki pandangan yang sama sekali berbeda tentang kehidupan dan
kematian. Sains modern tidak menganggap kematian adalah sebuah hal yang misteri
metafisik dan tidak memandang bahwa kematian bukanlah suatu makna
kehidupan.
Bagi orang-orang modern, kematian
adalah sebuah masalah teknis yang bisa dan sebuah hal yang seharusnya
dipecahkan. Dalam realitas, manusia tidak mati karena sosok yang metafisik
(malaikat maut), karena Tuhan menetapkannya, atau karena mortalitas adalah
bagian esensial dari rencana kosmis.
Akan tetapi, manusia selalu mati
karena suatu kesalahan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Arteri utama
tersumbat oleh timbunan lemak. Sel-sel kanker menyebar di hati. Kuman berbiak
di paru-paru. Lalu, apakah yang menjadi penyebab dari semua masalah teknis itu?
Masalah-masalah teknis lainnya.
Jantung berhenti memompa darah karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot
jantung. Sel kanker yang menyebar ditubuh kita karena ada mutasi genetik
tiba-tiba menulis kembali intruksi mereka.
Maka dalam hal ini, sains modern
berasumsi bahwa tidak ada yang metafisik dalam hal ini. Dan semuanya itu adalah
masalah teknis. Dan, setiap masalah teknis memiliki solusi teknisnya
sendiri.
Sekumpulan manusia nyentrik di lab
bisa melakukannya. Jika secara kebudayaan kematian menjadi keahlian para
pendeta dan teolog, kini para insinyur mengambil alihnya. Kita bisa membunuh
sel-sel kanker dengan kemoterapi atau robot nano. Kita bisa menumpas kuman
dalam paru-paru dengan antibiotik. Jika jantung berhenti memompa, kita bisa
menghidupkannya kembali dengan mencangkokkan jantung baru.
Benar, saat ini kita belum punya
solusi-solusi atas semua masalah teknis. Namun, inilah alasan persisnya kita
menginvestasikan banyak waktu dan uang dalam meneliti kanker, kuman, genetika,
dan teknologi nano.
Bahkan,
orang-orang biasa yang tidak terlibat dalam riset saintifik sudah
terbiasa berpikir tentang kematian sebagai masalah teknis. Ketika seorang perempuan
datang ke dokter dan bertanya, "Dokter, apa yang terjadi pada
saya?". Probabilitas dokter mengatakan, "Anda
terjangkit kanker." Namun, dokter itu tidak akan pernah
mengatakan, "Anda terkena kematian." Dan, kita
semua memiliki pemahaman bahwa flu, tuberkulosis (TBC) dan kanker adalah
masalah-masalah teknis, yang suatu hari nanti kita mungkin akan menemukan
solusi-solusi teknisnya penyakit itu sendiri.
Sekalipun orang mati dalam badai,
kecelakaan mobil atau perang, kita cenderung memandangnya sebagai kegagalan
teknis yang seharusnya bisa dicegah. Kalau saja pemerintah mengambil kebijakan
yang lebih baik, kalau saja pemerintah kota melakukan tugasnya dengan benar,
dan seandainya pemerintah militer mengambil keputusan yang lebih bijaksana,
kematian pastinya tak akan terjadi ataupun bisa dihindarkan.
Kematian
sudah menjadi dan hampir otomatis alasan gugatan hukum dan investigasi. "Mengapa
mereka sampai mati?" Seseorang di suatu tempat pasti membuat kekacauan
sehingga terjadinya kematian yang didasari atas perlakuan manusia itu sendiri.
Mayoritas ilmuwan, dokter, dan
sarjana masih menjaga jarak dari sebuah impian akan imortalitas yang belakangan
marak. Mereka mengklaim hanya berusaha mengatasi masalah teknis tertentu yang
ini atau yang itu.
Namun, karena usia tua dan kematian
bukanlah akibat dari apa-apa selain masalah teknis tertentu, tidak bisa
ditentukan dokter dan ilmuwan manakah yang akan berhenti dan mendeklarasikan.
Sejauh ini, dan tidak ada jalan lain, kita telah mengatasi tuberkulosis dan
kanker, tetapi kita tidak akan mampu mengangkat jari untuk memerangi Alzheimer.
Orang-orang bisa terus sekarat
karena itu, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tidak menyatakan bahwa
manusia punya "Hak untuk hidup sampai usia 90 tahun". Deklarasi itu
menyatakan bahwa setiap manusia punya hak untuk hidup, titik. Hak itu sama
sekali tidak dibatasi oleh tanggal kedaluwarsa ataupun batasan untuk hidup.
Karena itu, minoritas ilmuwan dan
pemikir yang terus bertambah jumlahnya berbicara lebih terbuka dewasa ini, dan
menyatakan bahwa misi prioritas sains modern adalah mengalahkan kematian dan
memberi manusia hidup di usia muda itu akan tetap abadi hingga tercapainya hak
untuk hidup itu sendiri tanpa sebuah batasan.
Sumber:
Harari,
Yuval Noah. 2015, Homo deus: Masa Depan Umat Manusia, Cet. 2
-Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Juni 2018.
Ditulis oleh :
Riansyah Razak |
Post a Comment