Seni dan Gambaran Kualitas Ilahiah
Siang itu begitu terik, suhu di kota Jakarta saat itu mencapai
33 derajat celsius. Setidaknya itu yang tertulis di aplikasi perkiraan cuaca di
android saya. Saya masih terus melanjutkan perjalanan, hingga mencapai pada
tempat tujuan; Gereja Katedral Jakarta. Gereja yang diresmikan pada 1901.
Seperti Gereja Katedral pada umumnya dengan gaya arsitektur khas abad
pertengahan—lebih tepatnya dibangun dengan arsitektur neo-gotik Eropa—yang membuatnya begitu berbeda dengan bangunan yang
ada di sekitarnya.
Pertama-tama yang harus diketahui bahwa hampir semua
tempat ibadah: Kuil, Vihara, Gereja, mungkin saja Masjid dan yang lainnya dibangun
dengan ciri khas arsitektur yang berbeda dengan kebanyakan bangunan lainnya
–paling tidak pusat tempat ibadah besar. Ini bukanlah tanpa alasan, dalam
sejarah perkembangan agama selalu berkaitan erat dengan perkembangan karya
seni, terlebih pada karya seni patung sebagai media atau representasi yang
Ilahi.
Saya begitu yakin bahwa hampir semua umat beragama
modern, terlebih umat agama Abrahamik, melihat patung persembahan dengan sudut
pandang yang buruk sebagai berhala. Namun sebenarnya tidak dengan sejarahnya.
Patung dalam sejarah agama adalah sebagai media visual
untuk mencapai yang Ilahiah, bukan yang Ilahi sebagai patung itu sendiri. Sebagai
contoh gambaran para Dewa di Yunani kuno direpresentasikan pada setiap patung
dengan melekatkan unsur antropomorfik. Diberikannya sepasang mata yang melihat,
sepasang telinga yang mendengar, kebijaksanaan, kaki, tangan, atau tubuh yang
sempurna seperti seorang atlet. Bahkan sebuah tempat ibadah yang megah layaknya
sebuah rumah setiap manusia pada umumnya. Kita bisa melihat ini pada Kuil
Phartenon sebagai tempat untuk menyembah Dewi Athena yang dibuat begitu indah
pada zamannya sebagai bentuk pelayanan dan kehormatan untuk para Dewa–dalam Homer kita bisa menemukan bahwa para
Dewa sebenarnya telah mempertimbangkan tempat tinggal mereka.
Semua itu dimaksudkan untuk mentransmisikan kesan pada
Dewa yang dicitrakan dan untuk selebihnya memfasilitasi dan melambangkan
penerimaannya atas doa-doa para pengikutnya. Itu semua juga tidak terlepas dari
kreasi imajinatif seniman yang membuat patung atau kuil para Dewa dengan
kebebasan melakukan kerja tangan (baca: karya seni) dengan membentuk tubuh atau
arsitektur.
Saya teringat sekitar setahun yang lalu mengikuti kelas
filsafat Neo-Platonisme, walaupun tidak selesai, yaitu aliran filsfat yang
menyebar setalah Plato meninggal dan gagasan-gasannya disebar luaskan oleh
murid-muridnya. Bahwa Plato memberikan sebuah dasar untuk seni yang lebih
idealis bahwa seniman sejati tidak mewakili objek material yang dia lihat di
depannya namun sebagai prototipe yang ideal.
Ketika Feidias berkata pada Cicero: “Ketika saya membuat
patung Zeus atau Athena, saya tidak sedang mendapatkan gambaran seseorang,
namun dalam pikiran saya ada gagasan keindahan yang sempurna”.
Perlu ditekankan di sini, gagasan Plato tersebut sangat
bertentangan dengan antropomorfisme agama rakyat Yunani. Karena ketika bentuk
antropomorfisme sebagai simbol tidak dianggap lagi sebagai representasi
individulitas serta kualitas para Dewa, bentuk itu akan kehilangan pengaruhnya
dan membuat seni religius kehilangan vitalitasnya.
Sewaktu di Manado hampir setiap hari saya selalu melihat
banyaknya Gereja Katedral seperti suatu hal yang lumrah, namun sudut pandangan
itu merubah saya ketika melihat Gereja Katedral di jantung kota Jakarta.
Seperti bola mata yang telah saya butakan dan bola mata itu telah terganti
dengan bola mata yang baru dengan cara melihat sesuatu yang begitu berbeda dari
sebelumnya.
Dengan hanya sekadar mengujungi dan melihat sebuah Gereja
yang indah, saya diberikan pandangan masa lampau mengenai peradaban maju
Nusantara. Bagaimana tidak, ada sebuah ketakjuban pada pengetahuan pembuat
candi Borobudur. Candi yang, bagi saya, dibuat tidak hanya berdasarkan teknik
arsitektur biasa namun berdasarkan jiwa manusia.
Sekali waktu saya menghabiskan waktu dengan membaca sebuah
novel Lalita karya Ayu Utami. Ini sangat berkaitan dengan pandangan saya
mengenai seni religius di candi Borobudur.
Ansel Eibenschütz, seorang tokoh dalam novel tersebut,
melakukan penelitian sebuah figur yang terbentuk dari frekuensi gelombang suara
(vibration) atau disebut sebagai cymalogic. Dengan serbuk dan pelat logam
serta bunyi-bunyian untuk membuktikan bahwa mandala (pola/denah) Borobudur ada
di alam semesta.
Namun sangat disayangkan, di akhir novel tersebut Ayu
Utami menulis, Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita
ketahui tentang dia dari pada yang kita ketahui.
“Untuk menyentuh bagian terdalam, yaitu spiritualitas:
kedekatan pada yang sakral, pemaham pada yang Ilahiah. Dan, karena yang Ilahi
secara defenisi melampaui yang fisik atau inderawi—metafisik—maka satu-satunya
cara untuk mendekati ini adalah secara tidak langsung, melalui paradoks,
metafora, dan alegori. Dan itu hanya melalui seni” (Lesley Hazleton, 2004).
Referensi:
Ernest
A. Gardner, 1910. “Agama dan Seni di Yunani Kuno”. Cetakan pertama Gramedia,
2021.
Ayu
Utami, 2012. “Lalita”.
Penulis:
Yudha Prakasa
IG: @yda_prksa
Post a Comment