BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Merefleksikan Kembali Pluralisme Kita: Tinjauan Konsepsi Nurcholis Madjid - Media Publikasi

Header Ads

test

Merefleksikan Kembali Pluralisme Kita: Tinjauan Konsepsi Nurcholis Madjid

Merefleksikan Kembali Pluralisme Kita: Tinjauan Konsepsi Nurcholis Madjid


Memiliki masyarakat yang beragam dan majemuk bukanlah sesuatu yang terberi (given) atau sudah ada begitu saja pada suatu negara, namun itu adalah suatu hasil dari proses gerak sejarah. Indonesia adalah salah satu negara yang dianugerahi dengan masyarakat tersebut, hal itu dipengaruhi oleh geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan—dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.000—membuat Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar dan terluas di dunia, faktor tersebut pula yang akan mempengaruhi struktur masyarakatnya.

Karena geografi Indonesia sebagai negara kepulauan akan berdampak pada sosio-kultural masyarakatnya yang memiliki ciri sangat khas bahkan berbeda. Itu dikarenakan pulau satu dengan yang lainnya sangat terisolasi oleh dunia luar sehingga terbentuknya beragam kultur yang khas dan berbeda pada masing-masing pulau, hal tersebut terjadi pada masyarakat pra-Indonesia. Itu didukung oleh Jared Diamond (seorang professor geografi di University of California dan ilmuwan biologi evolusioner) dengan apa yang disebutnya sebagai Determinisme ekologis. Bahwa perkembangan suatu masyarakat, baik kognisi maupun peradaban kebudayaan, ditentukan oleh situasi ekologi dan georgrafi di mana mereka tinggal.

Namun apakah hal tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang unik dibanding negara-negara lain. Nurcholis Madjid (1992: 1-2) menegaskan bahwa,

"Sesungguhnya pluralitas masyarakat kita tidak unik. Lebih-lebih di zaman modern ini, praktis tidak ada masyarakat tanpa pluralitas, dalam arti antarumat (terdiri dari para penganut berbagai agama yang berbeda-beda), kecuali di kota-kota eksklusif tertentu saja seperti Vatikan, Makkah, dan Madinah. Bahkan negeri-negeri Islam Timur Tengah (Dunia Arab) yang nota bene bekas pusat-pusat agama Kristen dan Yahudi, sampai saat ini masih mempunyai kelompok-kelompok penting minoritas Kristen dan Yahudi itu."

Perlu menjadi catatan penting di sini sekalipun apa yang dikatakan Nurcholis Madjid bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki pluralitas masyrakat sebagaimana dimiliki juga oleh negara lain, namun hal tersebut tidak serta merta membuat kita berpikir paham kemajemukan atau pluralisme itu tidak berlaku sebagai hakikat asali negara kita.

Ancaman Pluralisme di Indonesia
Dengan keberagaman masyarakat (etnis, suku, bahasa, dan agama) yang didukung oleh ekologi Indonesia sebagai negara kepulauan, sebagaimana telah dijelaskan diatas, menuntut Indonesia harus merawat nilai-nilai pluralisme demi keberlangsungan dan eksistensi Indonesia sebagai negara yang beradab, meninggalkan nilai pluralisme tersebut sama saja menghadirkan ancaman besar bagi negara Indonesia. 

Ancaman tersebut selalu hadir, sadar maupun tidak, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Maka dengan begitu diperlukannya suatu analisa lebih lanjut perihal potensi ancaman terhadap pluralisme kita sebagai salah satu upaya keberlangsungan negara Indonesia. Dalam tulisan ini saya akan merangkum 2 ancaman besar yang menjadi titik tolak kita dalam melihat kembali masa depan pluralisme di Indonesia.

Pertama, maraknya gerakan politik berdasarkan identitas yang bersifat destruktif sebagai salah satu ancaman terbesar keutuhan masyarakat yang plural. Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Syafii Maarif (2012: 20) dalam orasi ilmiahnya di acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture (NMML):

"Politik identitas di Indonesia lebih bermuatan etnisitas, agama, dan ideologi politik. RMS (Republik Maluku Selatan), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka), sebagai misal, adalah perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil, khususnya bagi Aceh dan Papua. Gerakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. Kecuali GPM yang masih seperti api dalam sekam sampai hari ini, gerakan-gerakan politik identitas lain seperti tersebut di atas, relatif telah dapat diatasi melalui kekerasan senjata atau diplomasi persuasif."

Jika kita melihat dalam konteks politik Indonesia kontemporer maka politik identitas didominasi oleh yang mengatasnamakan agama tertentu yang notabene-nya didasarkan atas semangat suatu ideologi.

Sebagai contohnya organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sekalipun disematkan label Indonesia dalam penamaan organisasi tersebut namun ideologi perjuangan mereka adalah produk luar negeri yang mencita-citakan berdirinya ke-khilafah-an sebagai penegak syari’ah islam di selurh dunia dan sentralisasi kekuasaan tunggal terpusat yang akan meleburkan semua ideologi-ideologi yang ada, termasuk pancasila, dan disatukan dalam satu wadah politik yang sama. 

Maka secara destruktif politik identitas sebagai cara pengejawantahan satu kelompok terhadap kelompok lain dengan melakukan represi terhadap kelompok minoritas maupun mayoritas yang akan mengakibatakan terancamnya eksistensi mereka demi mendapatkan pengakuan diri dalam ruang publik.

Kedua, munculnya sikap eksklusif dalam masyarakat yang disebabkan oleh ketertutupan total dengan yang lain karena adanya klaim kebenaran diri mereka sendiri sehingga membuat kecurigaan negatif terhadap satu kelompok masyarakat dengan yang lainnya. 

Model eksklusif seperti ini menjadikan masyarakat tertutup dan tidak bisa menerima pendapat atau klaim kebenaran orang lain bahkan yang lebih parah terjadinya penolakan dan kekerasan seperti yang terjadi terhadap penolakan berdirinya tempat ibadah atau pengrusakan tempat ibadah. 

Menurut data riset dari Setara-Institute bahwa sepanjang tahun 2017 sampai 2018 kasus intoleransi atau kebebasan beragama sepanjang tahun 2017 paling banyak menimpa warga yaitu dalam 28 peristiwa dan individu 27 peristiwa. Umat Islam menjadi korban dalam  7 peristiwa. Sedangkan mahasiswi, ulama, dan umat Katolik masing-masing menjadi korban dalam 5 peristiwa. Hingga akhir Juni tahun 2017, terjadi 80 peristiwa dengan 99 tindakan, artinya pada pertengahan 2018 terjadi peningkatan sebesar 20 peristiwa dan 37 tindakan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa sikap eksklusif atau tertutup dengan yang lainnya tidak hanya memberikan dampak tidak mau menerima pendapat orang lain namun dampaknya akan terasa sampai pada terjadinya pelanggaran hak-hak individu dan kelompok dalam melaksanakan peribadatan dengan aman sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Menuju Pluralisme
Pluralisme di Indonesia adalah suatu Natural condition yang harus dirawat demi keberlangsungan masyarakat yang beradab, sifat pluralitas masyarakat indonesia tidak hanya sebatas beragamnya pemeluk agama-agama besar (Islam, kristen/katolik, hindu, buddha, dan konghucu) namun pluralitas masyarakat Indonesia mencakup wilayah yang lebih luas seperti etnis, suku, bahasa, bahkan agama-agama nusantara. 

Ancaman terbesar kondisi pluralitas kita datang dari sikap intoleransi—sebagaimana telah dijelaskan di atas dengan meninjau dua ancaman terbesar pluralisme—baik yang tersistematis dan terorganisir maupun individual. Maka dari itu perlulah kita menawarkan suatu jalan menuju pluralisme tersebut demi mengeleminasi potensi ancaman-ancamannya.

Pertama adalah sikap inklusif sebagai antitesa dari sikap eksklusif, bahwa inklusif merupakan suatu keadaan terbuka yang akan menerima “ada”nya yang lain sebagai bagian dari masyarakat namun tetap mempertahankan “ada”nya sendiri. 

Nurcholis Madjid (1992: 2-9) menjelaskan mengenai konsep kesatuan kebenaran secara antropologis, bahwa manusia pada mulanya meyakini satu atau ketunggalan kebenaran namun mereka saling berselisih sampai datangnya penjelasan diantara masing-masing mereka dengan begitu terjadilah perbedaan penafsiran terhadap kebenaran tunggal tersebut, perbedaan itu diperkuat dengan apa yang disebut Cak Nur sebagai visted interests. 

Jika kita memahami maksud dari konsep tersebut maka dalam hal ini posisi seorang Nurcholis adalah apa yang saya sebut sebagai Monoteisme radikal atau menginterpretasikan suatu kebenaran tunggal dengan lebih mendalam atau mengakar. Dengan begitu sikap inklusif adalah suatu pra-kondisi dalam membangun pluralisme yang akan menerima keyakinan yang lain dan tetap konsisten terhadap keyakinannya sendiri.

Kedua, memiliki ketegasan standar moral sebagai pegangan terhadap nilai dan norma dalam mengatur tingkah laku baik pada individu maupun masyarakat. Terkadang suatu kehidupan bermasyarakat melihat masalah yang esensial adalah masalah kesejahteraan ekonominya saja namun kita melupakan masalah lain yakni pada sisi moral. 

Karl Marx mengatakan bahwa basis (material) mengkondisikan superstruktur (ideologi, kultur, moral, politik dan lainnya) , jika kita mengkritik pendapat Marx tersebut bahwa masalah kita bersifat multidimensional artinya tidak hanya sebatas pada dimensi materialnya namun juga pada dimensi mental-subjektif atau moralitas sebagai penangkal inteloransi. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pancasila diberikan perhatian khusus sebagai ideologi terbuka yang dapat ditafsirkan kembali secara proaktif dan tidak memiliki penafsiran tunggal atau kaku yang menjadikannya sebagai ideologi tertutup.

Dan yang terakhir adalah memperkuat peran kelembagaan agama dan pendidikan sebagai patron utama dalam menerima perbedaan di tengah kehidupan bermasyarakat. Secara fundamen kedua lembaga tersebut berperan penting sebagai building character jamaahnya dan peserta didik dengan merekontekstualisasi kembali sistem dalam penyampaian dan pembelajarannya berdasarkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dengan unsur-unsur yang menyangkut menerima perbedaan di tengah-tengah kehidupan sosial, bersikap toleran serta memiliki semangat inklusif.

Dengan memperhatikan ketiga hal di atas kita dapat mengeliminir atau meminimalisir terjadinya potensi yang mengancam nilai pluralisme bangsa, karena di zaman globalisasi seperti sekarang ini di mana sekat-sekat nasionalisme telah ditiadakan dan digantikan oleh internasionalisme dengan semangat kebebasan individual maka telah terjadinya fenomena shock culture atau asimilasi kebudayaan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain sehingga agak sulit bagi kita melihat otentisitas identitas diri karena telah terbentuknya keberagaman identitas-identitas lain, pilihan satu-satunya adalah dengan menerima keberagaman identitas tersebut sebagai nilai pluralisme.

Referensi
Buku:
1.  Nurcholis Madjid, 1992 “Iman dan kemajemukan masyarakat antar umat: Pandangan tentang kesatuan, kebenarang universal serta konstitusi, dan perkembangan agaman-agama”.
2.     Ahmad Syafii Maarif, Yayasan Abdi Demokrasi, Jakarta, 2012.“Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”.

Internet:

Ditulis oleh:

Yudha Prakasa

No comments