Menghormati manusia melalui kerja dan komunikasinya
Pada dasarnya semua makhluk
hidup, termasuk manusia, melakukan pekerjaan, namun kerja pada manusia menjadi
sangat berbeda dan khas dari pada makhluk yang lainnya. Apa yang membuat kerja
pada manusia sangat khas dan berbeda? Hal itu karena kerja pada manusia adalah sebagai
bentuk menyatakan keberadaan dirinya, maksudnya manusia berkerja untuk
memproduksi sesuatu yang akan dikonsumsi namun terkadang juga manusia memproduksi
melebihi kebutuhannya. Berbeda dengan makhluk lain, seperti hewan pada umumnya,
melakukan kerja hanya untuk keberlangsungan hidupnya (survive).
Awalnya manusia, sama dengan makhluk
yang lain, masih terintegrasi dengan dunia namun dengan melewati proses kerja
manusia kini membuat dunia yang niscaya tersebut menjadi hasil produk atau
hasil kerjanya, secara historis dunia telah diubah sesuai dengan kehendaknya.
Dengan begitu kerja membuat manusia berbeda dengan sesuatu di luar dirinya.
Kerja juga membuat manusia dapat
menggunakan teknologi sebagai instrumen pembantu untuk keberlangsungan hidupnya
di dunia. Sekarang bayangkan jika kerja manusia tidak berbeda dengan yang lain,
mandeknya evolusi kerja manusia atau manusia kembali kekondisi alamiah sebagai hominid, dan membuat teknologi menjadi
hampir mustahil digunakan, sebagai contoh, manusia tidak akan bisa melakukan
perjalanan ke tempat-tempat yang jauh karena memerlukan kendaraan.
Perihal kerja, Eka kurniawan
(seorang novelis) memberikan problem yang menarik untuk di ikuti dalam
tulisannya di kolom opini JawaPost[1], ia menulis:
“Manusia harus dipersiapkan tak hanya untuk menciptakan teknologi, demi membantu kerja-kerjanya. Manusia juga harus dipersiapkan untuk menghadapi segala macam dampak teknologi agar sebisa mungkin tidak merugikan kehidupannya. Setelah pembangunan, sebagian besar bersifat fisik, sangat masif selama lima tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya manusia mungkin terdengar sangat terlambat. Tapi, seperti orang bijak bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."[2]
Maksud dari kutipan tersebut bahwa
kesadaran akan pentingnya manusia yang harus dikedepankan karena kerja sudah
tidak lagi menjadi bentuk untuk menyatakan diri manusia di hadapan dunia. Kerja
seharusnya membuat manusia berbeda dengan yang lain kini telah tercerabut dari
dirinya, semata-mata manusia bekerja bukan untuk dirinya.
Jika manusia telah kehilangan hal yang
paling mendasar dari dirinya, yaitu kerja, lalu bagaimana mengembalikkan hal
tersebut? Eka kurniawan menambahkan sebagai penutup tulisannya bahwa,
“mulai menghormati manusia
Indonesia dan kerja-kerjanya. Petani dari tanahnya, nelayan dari lautnya.
Intelektual dari buku-bukunya. Buruh dari alat-alat produksinya. Ia harus
membebaskan manusia Indonesia dari rasa takut ketika ia melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang menghidupinya.”[3]
Artinya
emansipasi atau pembebasan adalah satu-satunya bentuk mengembalikan kerja
sebagai hal yang paling mendasar pada manusia sehingga distorsi kerja dan
ketertindasan manusia yang disebabkan oleh sesuatu diluar dirinya telah hilang.
Namun perlu diingat bahwa apa yang
telah ditulis oleh Eka kurniawan harus ditinjau lagi lebih kritis dengan begitu
kita dapat mempertanyakan lagi perihal konsep kerja. Apakah emansipasi manusia
hanya bisa terlaksana apabila kerja telah dikembalikan pada dirinya sendiri?
dan apakah ada dimensi lain, selain kerja, yang dapat membuat terlaksananya
emansipasi manusia? ataukah sebenarnya emansipasi manusia itu tidak diperlukan.
Dimensi komunikatif
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa kerja sebagai bentuk menyatakan diri manusia akan kepenuhan eksistensinya
di hadapan dunia maka dengan model paradigma kerja seperti itu manusia
mempunyai kehendak atas dunia. Namun sekali lagi, apakah hal tersebut hanya
dibatasi oleh dimensi kerja saja?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
kita harus melihatnya dalam persperktif lain, Jurgen Habermas mengatakan bahwa
manusia tidak hanya tools making animal melainkan
juga language using animal[4] artinya tindakan dasar
manusia tidak hanya sebatas pada dimensi kerja namun dimensi komunikasi juga,
komunikasi dimaksudkan sebagai salah satu sarana melihat manusia dalam
keutuhannya.
Dimensi komunikasi harus di alamatkan
pada sesuatu yang umum yaitu rasio manusia—rasio yang dimaksud tidak bersifat
netral atau memiliki keberpihakkan sebagai status emansipasi manusia—yang
berkaitan dengan kemampuan linguistik.
Jika kita mengacu pada dimensi
pertama yaitu kerja maka dunia menjadi objek manipulasi manusia sehingga
membuat dunia yang niscaya itu telah menjadi dunia manusia karena secara
historis sudah melewati proses kerja, sedangkan dimensi yang lain yaitu
komukatif adalah tindakan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sebagai
subjek—tidak sebatas monologal namun secara dialogal.
Dimensi komunikasi diaktualkan dalam
moral-praktis atau dalam tindakannya di ruang publik sebagai bentuk politik.
Karena berbasis emansipatoris maka komunikasi tidak mengizinkan hadirnya bentuk
represif kekuasaan atau bahkan ideologi dari luar, artinya komunikasi yang
bersifat bebas dengan begitu dapat terciptanya ruang demokrasi yang radikal.
Sejauh komunikasi dapat terlaksana
dengan bebas maka orientasinya terarah pada terciptanya pemahaman masing-masing
kelompok maka tindakan komunikasi bersifat terbuka, namun apabila proses
interaksi atau komunikasi terjadi secara tidak bebas atau adanya tekanan dari
luar, kekuasaan dan ideologi, maka akan terjadinya bentuk manipulasi yang
membuat komunikasi tersebut bersifat tertutup dan tidak terciptanya pemahaman
semua kelompok/pihak.
Dengan adanya model komunikasi
tertutup atau terjadinya manipulasi akan membuat dimensi komunikasi sebagai
dasar tindakan manusia tidak lagi terarah pada pembebasan manusia.
Hal tersebut bisa kita lihat pada
kasus penangkapan Robertus Robet (Dosen UNJ dan aktivis HAM) karena diduga
telah menyebarka isu SARA dengan berorasi di depan massa demonstran pada aksi
kamisan di taman aspirasi depan istana presiden (28/2/19) mengingatkan
bahayanya dwifungsi saat militer masih bernama ABRI dengan menyanyikan lagu
mars ABRI yang dipelesetkan oleh para demonstran.(Lihat di sini)[5]
Pada fenomena tersebut telah terjadinya
dimensi komunikasi tertutup, di mana yang seharusnya tindakan komunikasi di
ruang publik harus berifat bebas dari tekanan kekuasaan maupun ideologi,
sehingga dengan terjadinya fenomena tersebut dimensi komunikasi yang semestinya
dapat membebaskan maunusia atau bersifat emansipatoris kini telah terdistorsi
secara sistematis dan terjadinya manipulasi yang tidak memihak pada bentuk
pemahaman antar sesama subjek, sama halnya terjadi pada dimensi kerja yang
tercerabut dari dirinya.
Maka syarat emansipasi manusia tidak
hanya sebatas pada dimensi kerja saja namun harus diandaikan adanya dimensi
kedua yaitu komunikasi yang bersifat dialog dan terbuka tanpa adanya represi
dari luar, kekuasaan ataupun ideologi dan lain-lain.
Secara tidak langsung hal tersebut
akan membatalkan konsespsi Marx mengenai basis
(material, dalam hal ini kerja) akan mengkondisikan superstruktur (interaksi sosial), karena harus diandaikan keduanya
sebagai dimensi tindakan dasariah manusia.
Catatan akhir:
[1] Esai Eka Kurniawan “Menghormati
manusia dan kerja-kerjanya”, 2019. Bisa dilihat disini: https://www.jawapos.com/opini/26/10/2019/menghormati-manusia-dan-kerja-kerjanya/.
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] F Budi Hardiman., “Kritik Ideologi:
Menyingkap Pertautan dan Kepentingan Bersama Jurgen Hebermas”, PT Kanisius,
2019. Hal.111
[5] Artikael tempo.co “Fakta-Fakta
Penangkapan Robertus Robet”, 2019. Bisa dilihat disini: https://nasional.tempo.co/amp/1182866/fakta-fakta-penangkapan-robertus-robet
Ditulis oleh:
Yudha Prakasa
Post a Comment