BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Pada Mulanya Adalah Pertanyaan - Media Publikasi

Header Ads

test

Pada Mulanya Adalah Pertanyaan

Pernakah Anda melakukan perjalanan menggunakan suatu transportasi, atau hanya sekadar berjalan kaki, dengan membawa serta beberapa ide yang terlalu menarik untuk ditinggalkan?

Beberapa orang memang melakukan perjalanan untuk mencapai tempat tujuannya, dan melupakan begitu saja waktu perjalanannya. Jika telah mencapai tempat yang akan ditujunya momen dalam perjalanan itu hilang begitu saja. Bagi mereka ketiduran atau berlama-lama dengan gadget selama menempuh perjalanan adalah suatu keharusan. Ada suatu kondisi yang benar-benar tidak bisa kita tinggalkan dalam melakukan perjalanan. Apa itu? Perjalanan itu sendiri.

Baik, aku akan memulai dari awal lagi. Siang itu di stasiun Bekasi tidak terlalu ramai, aku merasa matahari pada hari itu begitu terik. Jaringan kulitku seperti terbakar langsung oleh sinar matahari—aku tidak ingat suhunya mencapai berapa derajat Celsius. Untuk menunggu kedatangan kereta menuju Jakarta aku harus berdiri di depan peron enam. Bagi Anda yang sering menggunakan commuter line, peron adalah sebuah tempat pemberhentian kereta, mungkin saja fungsinya sama seperti halte bus.

Sebenarnya perjalananku menuju Jakarta sama seperti perjalanan yang sudah-sudah. Namun sialnya pada hari itu aku tidak mengetahui kebijakan perubahan rute commuter line. Yang seharusnya perjalanan yang aku tempuh dari Bekasi ke Jakarta hanya memakan waktu empat puluh lima menit, kini aku habiskan waktu sekitar sembilan puluh menit lamanya. Semua berawal dari ketidaktahuanku mengenai kebijaka commuter line; berdiri di peron yang salah, dan menaiki kereta yang salah juga.

Apa yang terjadi pada hari itu bukanlah sebuah kesialan, bagiku itu merupakan suatu permulaan. Akan aku ceritakan lebih lanjut.

***  

Pernakah Anda mendengar atau membaca suatu risalah kehidupan beberapa filsuf yang selalu melakukan perjalanan, baik itu berjalan kaki untuk menempuh perjalanan dekat atau bahkan ke tempat yang jauh. Nietzche secara rutin melakukan dua jam tamasya penuh semangat di Pegunungan Alpen Swiss, dia percaya bahwa “Semua pemikiran besar lahir saat kita berjalan kaki”. Atau Socrates yang setiap hari melakukan perjalanan di Agora—dengan bertelanjang kaki—untuk memulai dialog filosif dengan orang-orang yang ia temui di sana.

Thomas Hobbes bahkan mempunyai tongkat berjalan yang dibuat secara khusus, dilengkapi dengan tinta portable yang diperuntukkan untuk mencatat setiap pemikirannya saat berjalan santai. Mungkin Anda sudah begitu familiar dengan kisah Immanuel Kant yang dengan disiplin berjalan-jalan sehabis makan siang pukul 12.45. Karena begitu disiplinnya kegiatan berjalan Kant ini, warga Konigsberg mencocokan jam mereka dengan jadwal jalan kaki Immanuel Kant. 

Aku tidak ingin mengatakan bahwa aku melakukan hal yang sama dengan para filsuf, yang telah aku sebutkan tadi. Sungguh itu sangat melelahkan. Tapi ada hal yang sama yang aku alami dengan para filsuf yang suka berjalan-jalan itu: aku bisa berpikir dalam gerbong kereta.

Aku menemukan eureka a la Archimedes dalam gerbong kereta itu. Hal yang sama tidak aku temukan dalam bus, berjalan kaki, atau di tempat-tempat publik lainnya. Awalnya aku curiga ini hanyalah efek dari sensasi yang berbeda ketika berada dalam kereta. Kereta membawaku ke alam prasadar yang lebih bahagia. Kecemasan untuk terlambat ke kantor, laporan-laporan pekerjaan yang menumpuk, arus lalu lintas yang macet, biaya hidup di kota yang begitu besar; semuanya hilang terbenam dalam kepalaku. 

Ada sebuah pemikiran yang begitu mendalam yang lahir dalam gerbong kereta (Anda bisa menyebutnya “dalam perjalanan”), cara berpikir itu kita bisa sebut juga sebagai pemikiran filosofis—jika tidak berlebihan boleh disebut juga sebagai filsafat.

Namun masalahnya adalah bahwa pemikiran filosofis dan kereta, bagiku, sama-sama memiliki suatu keusangan: dahulu merupakan bagian vital kehidupan kita, kini telah menjadi sebatas anakronisme yang ganjil. Pasalnya, di zaman sekarang banyak orang lebih memilih naik kendaraan pribadi ketimbang kereta dan tidak ada yang benar-benar berpikir filosofis, bahkan mempelajari filsafat pun tidak. 

Mungkin satu atau dua kali seumur hidup, jika beruntung, Anda tak sengaja menemukan sebuah kalimat tak terduga, sebuah kalimat yang selalu membuat Anda begitu kagum, sampai-sampai Anda tidak bisa melupakan kalimat-kalimat itu.

Aku menemukan kalimat-kalimat itu ketika berdesakan di antara penumpang kereta lainnya. Aku bertanya-tanya. Dua kata yang sederhana tapi memuat segala bentuk filosofis dan keindahan. Semua penemuan besar dan dimulai dengan dua kata itu: “aku bertanya”. Pada mulanya adalah pertanyaan, untuk menemukan jawaban yang benar terlebih dahulu harus mengajukan pertanyaan yang benar pula. 

Sejauh pengetahuanku filsafat itu tidak lahir di ruang kosong, ia lahir di tengah-tengah jutaan manusia yang tidak berhenti untuk bertanya.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menyusun suatu pertanyaan yang benar, namun dalam keyakinanku kesadaran akan pertanyaan itu sudah ada, hanya saja bentuk pertanyaan itu begitu samar. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bersemayam di dalam kepalaku, bersembunyi, menunggu untuk siap tampil di depan tubuhku. 

“Setiap pertanyaan adalah seruan untuk memahami dunia” kata ahli Kosmologi Carl Sagan. Namun dunia tidak terlalu menarik bagiku, aku ingin setiap pertanyaan itu untuk memahami diriku sendiri.

Di sini aku harus lebih cermat, bahwa kata “memahami” itu berbeda dengan kata “mengetahui”. Memahami adalah sekaligus mengalaminya. Mengetahui tidak. Mengetahui adalah sebatas informasi belaka. Kita mengetahui jarak antara Bekasi dan Jakarta kurang lebih 30 km, namun beberapa dari kita tidak benar-benar memahami betapa melelahkannya menempuh jarak sejauh itu. 

Maksud aku begini, jika suatu pertanyaan adalah untuk memahami diriku sendiri itu sama saja aku harus mengalami pertanyaan tersebut. Aneh karena waktu itu aku tahu bahwa filsafat adalah aktivitas yang hanya semata-mata perkara otak saja, perlahan-lahan aku baru memahami filsafat juga adalah perkara hati karena kita harus mengalaminya. Banyak orang yang hanya sekadar berbicara filsafat tapi tidak benar-benar sedang berfilsafat. Perbedaanya begitu besar antara minum vodka dengan bicara tentang vodka. Aku sudah mabuk dengan vodka, dan kamu masih berteori tentang khasiat dan kenikmatan vodka.

***

Sebentar lagi aku akan sampai ke stasiun tujuan, aku tidak memikirkan dan mersakan apapun. Aku hampa dalam makna yang dalam. Aku diusik oleh berisiknya kereta lalu-lalang, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Dari jendela kereta, aku menyaksikan tembok-tembok tua, rumah-rumah yang berhimpitan seperti kehilangan jarak satu dengan yang lainnya. Kereta telah berhenti dan pintu siap untuk terbuka secara otomatis, aku menerawang ke luar tanpa menatap sesuatu secara khusus, dan mulai bertanya-tanya: “Apa itu pertanyaan?”. 

 

Penulis

  

Yudha Prakasa

No comments