BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI FILM INTO THE WILD; KEKACAUAN HARUS DIINTERVENSI, BUKAN DIHINDARI - Media Publikasi

Header Ads

test

FILM INTO THE WILD; KEKACAUAN HARUS DIINTERVENSI, BUKAN DIHINDARI


"Tidak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama" -Rousseau

Ada yang bilang, "Jika Anda hidup di pulau sendirian, Anda tidak perlu bicara kebebasan dan keadilan." karena perkara kebebasan dan keadilan adalah perkara hubungan manusia. Artinya, baik kebebasan dan keadilan disyaratkan oleh adanya hubungan manusia dengan manusia yang lain. Konon cerita ini diilhami oleh karakter Robinson Crusoe dalam petualangannya di lautan lalu terdampar di pulau seorang diri, dalam novel karya Daniel Defoe.

Menjadi benar pendapat di atas jika asumsi kita dibayangi oleh antroposentrisme, yaitu menempatkan manusia pada derajat paling tinggi dibanding penghuni alam semesta yang lain, semisal hewan dan tumbuhan. Namun jika kita menggeser sedikit pemahaman kita menjadi biosentrisme, yaitu adanya kedudukan yang sama bagi seluruh penghuni alam semesta, sebagai satu komunitas, karena relasinya adalah kesalingterikatan, maka kendatipun Anda hanya seorang diri di pulau, Anda tetap bisa bicara kebebasan dan keadilan, juga kebenaran - sejauh kebebasan yang kita pahami oleh tidak adanya dominasi serta keadilan adalah perkara kesesuaian dan keharmonisan.

Bagimana dengan perkara kebahagiaan? Apakah disyaratkan oleh adanya dua orang manusia atau lebih?

Kebahagiaan memang merupakan perkara individu, lebih-lebih kaitannya dengan perasaan. Lalu, kebahagiaan bisa dimungkinkan oleh apa saja, bisa saja oleh keindahan alam atau oleh situasi umat manusia. Karena kebahagiaan adalah problem "menyenangi" sesuatu dan tidak. Meski tetap saja kebahagiaan bisa dikategorisasi.

Dan, dalam film INTO THE WILD, yang saya pahami, adalah sejenis pencarian kebahagiaan dengan jalan mencari kebebasan di alam bebas.

PERHATIAN! Ini bukan spoiler!

Sekadar pengingat... Film ini diambil dari kisah nyata yang dinovelkan oleh Jon Krakauer. Sutradaranya Sean Penn. Menceritakan seseorang yang hidup dengan kelebihan, Cristopher McCandless (Chris), lalu muak dengan segala tuntutan nilai dalam masyarakat: mesti begini, kerja di sini, menjadi begitu, bla... bla... bla...

Akhirnya dia meninggalkan semua kehidupan senangnya, termasuk membakar uangnya, dan bertualang di alam bebas demi menjalani kehidupan, yang baginya, adalah kehidupan yang sebenar-benarnya. Tentu bersama panutan hidupnya: buku.

Intinya apa? Mencari jalan kebahagiaan.

Saya pinjam pendapat Rousseau. Baginya, basis masyarakat adalah tubuh manusia, pikiran hanyalah pernak-pernik. Pikiran tampil dalam kebudayaan manusia, semisal seni, ilmu, dll. Namun bunga-bunga ini, yaitu pikiran, justru memperbudak manusia. Malah situasi perbudakan ini dicintai.

Dari sini dia menyerukan "Retournons a la nature!" (Mari kita kembali ke alam!). Meski semboyan ini tidak boleh dipahami sebagai langkah untuk menarik diri dari kehidupan sosial, namun seruan untuk menjadi manusia sesuai kodratnya sejak lahir, yaitu bebas sesuai kehendaknya.

Saya menggunakan film ini hanya untuk menggambarkan bahwa, kenyataan sosial, sebetapa pun pahitnya, sebetapa pun jelas kontradiksinya, tidak untuk dihindari dengan cara lari ke dalam hutan, lalu pelan-pelan berharap agar kenyataan membaik, lalu orang-orang sadar, semua diserahkan pada mekanisme alam, inviseble hand. Padahal "tangan tak terlihat" itu tidak jalan. Karena memang tidak ada.

Saya selalu ulang-ulang, bahwa kenyataan sosial, yaitu politik, harus diintervensi! Ini konsekuensi logis dari menyadari sesuatu, yaitu melakukan sesuatu pada sesuatu itu.

Seperti ungkap seorang eko-filsuf asal Norwegia, Arne Naess, yang menafsir pemikiran Spinoza dalam gerakan lingkungan, bahwa "Interaksi dengan sesuatu dan pemahaman tentang sesuatu tidak dapat dipisahkan".

Dalam sejarah pemikiran politik, pemisahan diri pada politik sudah terjadi sejak 2000-an tahun lalu. Tepatnya pada periode Helenis. Jika di masa Yunani Klasik erat kaitannya antara etika dan politik, di masa ini diceraikan.

Tidak ada etika tanpa politik. Untuk bisa merealisasikan visi etis, kita mesti terjun dalam politik, kalau perlu sampai mengubah konstitusi. Kesadaran macam inilah yang lenyap dalam pemikiran politik Helenis (Surajaya, 2016: 219)

Ketika kekuasaan politik beralih ke tangan orang-orang Makedonia, para filsuf Yunani pun, sudah sewajarnya, menyingkir dari politik dan lebih mencurahkan diri pada masalah keutamaan dan keselamatan individu. Mereka tak lagi menanyakan: bagaimana manusia bisa menciptakan Negara yang baik? Yang lebih mereka pertanyakan adalah: bagaimana manusia tetap luhur di dalam dunia yang durjana, atau berbahagia di dalam dunia yang sarat derita? (Russell, 2020: 314).

Inilah yang mengemuka dalam dua arus pemikiran pada masa itu, yakni Sinisisme diwakili oleh Diogenes dengan visi "antipolitik" dan Epikureanisme diwakili oleh Epikuros engan visi "apolitik". Alih-alih mengubah kenyataan hidup yang timpang Kaum Sinis justru menurunkan ekspektasi pada kenyataan.

Sama seperti Aristoteles, bagi Kaum Sinis kebahagiaan (eudamonia) merupakan inti dari hidup yang berkeutamaan. Kebahagiaan jantungnya adalah "penguasaan-diri" (enkrateia), yakni kemampuan untuk hidup dalam penerimaan terhadap situasi yang sulit.

Menghadapi situasi yang sulit, ada alternatif yang terbuka untuk mewujudkan kebahagiaan (eudamonia): pertama mengubah situasi agar menjadi tidak sulit melalui intervensi politik sehingga tercipta situasi yang membahagiakan; kedua, menerima situasi yang ada tetapi memangkas ekspektasi kita sendiri sehingga kita bisa tetap bahagia. Diogenes memilih jalur kedua. Ia lebih memilih menekan pengharapannya akan keadaan yang baik ketimbang mengubah keadaan menjadi baik. Dengan begitu, terlihat implikasi politik dari sikap "penguasaan-diri" yang diajarkan Diogenes. Sikap nerimo  merupakan sinonim penguasaan-diri (Suyajaya, 2016: 221-222).

Pada mazhab Epikureanisme, politik yang kian kotor, meski sangat disadari, cara terbaik adalah menghindar karena terlibat dalam politik membuat pikiran tidak tenang dan dari situ akar ketidakbahagiaan. Syarat dari hidup nikmat, dan berkeutamaan, adalah "ketenangan pikiran" (ataraxia) dan "kebebasan dari rasa sakit" (aponos). Namun bukan brarti mazhab Epikureanisme, terutama pendirinya Epikuros, tidak melek politik. Dia sangat menyadari ketidakadilan dan logika yang berjalan di balik itu.

Terlepas dari konsekuensi pandangannya yang bisa mengarah pada tindakan politik, Epikuros sendiri tidak mengedepankan kehidupan aktif dalam politik. Bahkan salah satu ucapannya yang terkenal adalah "hidup tersembunyi". Di sinilah bermuara tendensi apolitis dalam pemikiran Epikuros (Suryajaya, 2016: 228).

Sikap yang diambil oleh Chris, dalam kisah hidupnya mengasingkan diri dari kenyataan sosial, hanyalah satu kesadaran yang apolitik, karena meskipun dia menyadari dunia berjalan dengan kacau namun lebih memilih untuk menghindarinya karena tidak membuat bahagia.

Meski Rousseau menyarankan "kembali ke alam", kembali ke state of nature manusia, namun dia terlibat aktif dalam politik, ikut mengintervensi kehidupan sosial, termasuk kekuasaan, dengan cara mendorong manusia untuk membuat persekutuan dengan harapan persekutuan itu untuk melindungi "keadaan asali" manusia.

 

Referensi

Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat, terjmh. Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suryajaya, Martin. 2016. Sajarah Pemikiran Politik Klasik. Tangerang Selatan: Marjin Kiri



Penulis

Fahmi Karim





No comments