BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Marx dan ilusi emansipasi manusia - Media Publikasi

Header Ads

test

Marx dan ilusi emansipasi manusia


Marx dan ilusi emansipasi manusia


Kelas pekerja sebagai salah satu dari berbagai kelas sosial lain yang diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpunya atau dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhannya kelas pekerja harus menawarkan, sebenarnya menjual, tenaga mereka kepada kelas sosial lain yaitu borjuis sebagai pemodal dalam aktivitas produksi.

Dengan berangkat dari kerangka pembagian kelas sosial penindasan, peghisapan dan ketidakadilan akan terus ada karena masing-masing kelas terus mempertahankan “ada”nya atau eksistensinya sebagai suatu kelas dengan cara saling melawan, bernegasi dan berkontradiksi satu dengan yang lainnya dan akan mecapai tingkat yang lebih tinggi lagi.

Dalam kutipan manifesto partai komunis marx mengatakan bahwa “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”. Borjuis-proletar (kapitalisme) lahir dari reruntuhan feodalisme (tuan dan hambah/budak), dan seterusnya sampai pada bentuk masyarakat primitif.

Sebelum melangkah lebih jauh dalam pandangan Marx kita wajib mengajukan pertanyaan kritis. Masyarakat yang terbagi dalam struktrur kelas sosial, apakah benar terjadinya penindasan satu kelas oleh kelas lain? kenapa penindasan itu terjadi? dan apakah syarat untuk terbebas dari penindasan sebagai bentuk emansipasi manusia.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut saya akan merangkum suatu teori kerja, proletar sebagai subjek revolusi dan pada ujungnya kita akan melihat pesimisme total bahwa proletar bukan lagi menjadi subjek revolusioner sebagai emansipasi manusia atau hanya sebuah ilusif.

Pekerjaan dan keterasingan manusia
Pekerjaan adalah aktivitas primer semua makhluk hidup di dunia sebagai cara dan upaya untuk terus dapat bertahan hidup di alam. Namun  pekerjaan menjadi sangat khas pada manusia sebagi laku utama peradaban.

Untuk melihat kekhasan kerja pada manusia saya akan mencoba membicarakan dengan paradigma biologi evolusioner secara singkat dan paradigma filosofis dialektika Hegel.

1.      Kerja dalam paradigma biologi evolusioner.
Dalam teori evolusi bahwa manusia berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan spesies kera. Peta genetika modern meyakini bahwa garis keturunan manusia awal atau hominid itu adalah satu garis dengan leluhur yang sama pada genetika simpanse sekitar 5-8 juta tahun silam.

Hal ini didukung dengan ditemukannya fosil hominid awal yaitu spesies Sahelanthropus tchadensis (diperkirakan hidup 6-7 juta tahun silam), Orrorin tugenensis (hidup sekitar 6 juta tahun silam) dan Ardipithecus ramidus (hidup antara 4,4-5,8 juta tahun silam).

Spesies hominid-hominid tersebut memiliki ciri anatomi tubuh yang sebagian masih menyerupai kera dan sebagian lagi seperti manusia pada umumnya—belum memiliki ciri bipedal—serta hidup di atas belantara pohon (arboreal) namun terkadang di alam terbuka (terestrial) jika suatu saat pohon tidak lagi menjanjikan kehidupan.

Baru pada australopithecus yang hidup sekitar 2-4 juta tahun silam, perbedaan gaya hidup arboreal dan terestrial mulai muncul. Dengan gaya hidup terestrial maka berakibat pada perbuhan anatomi tubuh menjadi bipedal atau berjalan dengan dua kaki, jika pada awalnya—spesies sebelum australopithecus—melakukan aktifitas berjalan dengan 4 kaki atau sama seperti cara berjalan kera pada umumnya namun pada australopithecus gaya tersebut mulai ditinggalkan karena kebiasaan hidup di atas permukaan tanah dan meninggalkan pohon. Hal itu akan membuat kaki depan, pada awalnya, sudah tidak lagi menopang berat tubuh dan bergerak dengan bebas menjadi perbedaan antara tangan dan kaki.

Namun apa sebenarnya yang menyebabkan gaya hidup bipedal? Hal itu dipengaruhi oleh ekologi dan geografis alam yakni pendinginan skala global terjadi karena turunnya suhu yang berakibat pada curah hujan sedikit sehingga terbatasnya belantara pepohonan dan digantikan oleh padang terbuka sehingga memaksa para homonid turun dari pohon dan mulai hidup di atas permukaan tanah. Dalam istilah Jared Diamond (ilmuwan biologi evolusioner) fenomena tersebut sebagai Determinsme geografis.

Begitu terjadinya perubahan bipedalisme pada australopithecus, hal itu akan membawa serta fungsi yang berbeda pula antara fungsi kaki sebagai bagian tubuh yang berjalan dan fungsi tangan sebagai bagian tubuh yang berpotensi melakukan laku kerja bahkan memproduksi perkakas atau teknologi awal.

Hominid awal yang pada mulanya bertahan hidup diatas pepohonan kini pada australopithecus gaya itu sontak berubah. Gaya hidup bipedal pada hominid membuat mereka dapat melakukan inovasi teknologi untuk digunakan sebagai alat memburu, menyayat daging buruan atau sebagai upaya bertahan hidup.

Diciptakannya perkakas sebagai teknologi dan alat bantu dalam kelangsungan hidup pada genus homo membuat mereka yang awalnya makhluk hidup termasuk bagian dari alam kini mencoba mengekspansi alam dengan kerja dan menjadikan mereka berbeda dengan alam, puncaknya terjadi pada homo sapiens dengan perkembangan kognisi hingga menciptakan bahasa dan struktur simbolik.
Dengan begitu kerja adalah sebagai salah satu bentuk eksistensi manusia yang paripurna dan saling berhadapan dengan alam yang akan diekspansinya sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Tetapi perlu diingat hal itu bukan menjadi kesimpulan yang mutlak dalam ilmu biologi evolusioner, bahkan perdebatan berlanjut bahwa kerja bukanlah eksistensi awal manusia namun pada kapasitas otak yang ditandai oleh besarnya volume tengkorak pada masing-masing spesies hominid.

2.      Dialektika Hegel.
Hegel adalah seorang filsuf idealisme yang sangat berpengaruh (filsuf mayor) pada zamannya dan mengembangkan suatu metode filsafat dialektika. Yang dimaksud dialektika adalah suatu proses berpikir totalitas yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur yang saling bernegasi, berkontradiksi dan berlawanan—maksud totalitas bukan sebagai kesimpulan dari unsur-unsur tersebut.

Artinya unsur-unsur itu dibiarkan saling bernegasi dan setiap unsur tersebut berhak mempertahankan “ada”nya kemudian menuju pada rekonsiliasi atau mediasi untuk mencapai tujuan baru disebut Aufhebung (sublasi) atau mengangkat, membawa ke taraf lebih tinggi.

Unsur-unsur tersebut tidak bisa saling meniadakan karena keduanya saling membutuhkan dan memperkaya satu dengan yang lainnya walaupun keduanya saling mengingkari.

Jika metode dialektis tersebut diterapkan pada realitas yang bekerja, maka dapat digambarkan bahwa aku (manusia) dalam proses eksistensinya akan dipertentangkan atau saling bernegasi dengan non-aku (alam) sebagai sesuatu diluar dirinya (the other). Aku merasa bahwa dalam pertentangan itu tidak bisa meniadakan non-aku karena tanpa non-aku maka aku tidak bisa mengklaim eksistensi atau kediriannya.

Dengan begitu terjadinya proses rekonsiliasi untuk mencapai tujuan baru, sehingga kerja sebagai bentuk objektifikasi manusia (aku) atas alam (non-aku) atau menjadi dunia manusia.

Sebagai contoh seseorang (aku) akan membuat sebuah patung yang bahannya didapatkan di dalam hutan (non-aku), seperti pohon, ia dengan cakapnya menebang, memotong dan mengukir pohon tersebut dan memberikan bentuk baru pada pohon itu contohnya bentuk patung Julius Caesar, dengan begitu ia dapat menyatakan dirinya sebagai seorang seniman.

Maksudnya apa yang semula hanya ada dalam pikirannya ketika melewati proses pekerjaan telah menjadi kenyataan, saat itupun ia menyatakan dirinya sebagai seorang seniman.

Sampai disini kita dapat melihat bahwa kerja sebagai laku utama manusia dalam menyatakan dirinya yang berbeda dengan alam sekaligus saling membutuhkan.

Namun menurut Marx bahwa manusia telah terasing dengan dirinya karena dalam kapitalisme, kerja merupakan aktifitas yang dipaksakan oleh kapitalis terhadap para  pekerja sehingga dalam pekerjaan bukan sebagai proses untuk menjadi dirinya. Pekerja menjadi dirinya saat selesai bekerja lalu pulang kerumah dan berhubungan secara sosial dengan keluarga.

Hal ini mengingatkan kita pada lirik lagu The Beatles yang berjudul A hard day’s night. “It’s bean a hard day’s night, and I’d been working like a dog. It’s bean a hard day’s night,I should be sleeping like a log. But when I get home to you  I find the things that you do”

Revolusi proletariat
Jika pekerjaan sebagai upaya manusia dalam mencapai eksistensi diri, namun nyatanya manusia terasing dengan dirinya karena proses pekerjaan telah dikuasai oleh satu kelas sosial yang mendominasi atas para pekerja.

Di zaman kapitalisme pekerjaan dipandang sebagai produksi yang mencari keuntungan sebesar-besarnya (nilai-lebih), Marx mamandang bahwa nilai-lebih didapatkan dari cara penghisapan jam kerja.

Misalkan seorang pekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari, katakanlah Rp.100.000, maka ia menawarkan tenaganya untuk bekerja. Seorang kapitalis memberikan upah sebesar Rp. 100.000 sehari dengan jam kerja perhari sepanjang 8 jam kerja. Namun saat bekerja selama 6 jam buruh tersebut telah menghasilkan pekerjaan dengan nilai Rp.100.000, 2 jam kerja sisanya diberikan secara paksa kepada kapitalis. Dengan 2 jam kerja secara cuma-cuma itu sebagi nilai-lebih yang dirampok, maka kerja telah menjadi bentuk keterasingan manusia dan kehilangan ke-khasannya.

Bagaimana cara mengemansipasi manusia dari ketertindasan dan keterasingan itu? Marx menjawab itu dapat dilaksanakan lewat revolusi. Karena dengan ketertindasan menjadi prasyarat dalam pelaksanaan revolusi.

Dengan revolusi proletariat akan mengambil semua hak milik dan memberikannya pada semua kalangan masyarakat melalui kekuasaan politik proletariat (diktator proletar) yang sebelumnya dibentuk. Kekuasaan itu dimaksud hanya sementara sebagai kekhawatiran jika masih ada sisa-sisa kapitalisme.

Bahwa kaum pekerja harus mempunyai kesadaran kelas dan bersatu sebagai kelas yang tertindas demi menciptkan dunia tanpa kelas sosial. Kurang lebih Marx mengatakan bahwa “filsafat menemukan kekutan material pada proletar sedangkan proletar menumakan kekuatan spiritual pada filsafat”.

Catatan kritis pada teori kerja marx dan revolusi proletariat
Kita harus mengajukan suatu pertanyaan kritis pada konsep pekerjaan manusia Marx sebagai pengejawantahan diri, yaitu, apakah pekerjaan sebagai bentuk emansipasi manusia? andaikan seperti itu, bukankah pekerjaan hanya menjadi proses kekuasaan satu dengan yang lainnya? Sehingga jika kita melihat pekerjaan sebagai bentuk satu-satunya dalam emansipasi manusia maka pekerjaan hanya akan menjadi hubungan manusia dengan alat produksi bukan menjadi hubungan manusia dengan manusia, kerja manusia yang bersifat otonom kini direduksi semata-mata menjadi instrumental.

Dan revolusi proletariat sebagai praxis perlu diuji kembali. Apakah dengan diadakannya revolusi maka bisa membebaskan manusia dari keterasingan diri? Jika dengan sistem kapitalisme penindasan manusia dengan manusia yang lain terjadi, bukankah kita telah melihat bahwa kelas pekerja telah teriintegrasi dalam sistem tersebut. Bahwa kedua kelas yang dimaksud Marx sebetulnya telah sama-sama bekerja untuk memajukan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Revolusi hanya akan melegitimasikan kekuasaan baru bahkan lebih kejam dari sebelumnya—lihat kediktatoran Uni Soviet yang puncaknya pada Stalin—bersamaan dengan itu maka proletar sudah tidak bisa lagi menjadi subjek revolusi karena telah teriintegrasi dalam sistem yang sama.

Yang perlu kita lihat bahwa Marx mengajukan gagasan-gagasan di atas karena itu sesuai konteks zaman Marx hidup. Namun nyatanya zaman telah berubah dan yang seharusnya kita pertanyakan adalah, jangan-jangan semua bentuk keterasingan manusia dengan dirinya tidak hanya terjadi pada kelas pekerja saja namun pada semua kelas sosial.

Karena pada sebuah sistem yang perlu kita tinjau adalah dibalik sistem tersebut terdapat suatu ideologi yang menjadi momok keterasingan manusia. Alih-alih ideologi tersebut menawarkan suatu kesejahteraan namun itu menjadi pandangan tebalik dari realitas.

Ideologi itu dianalogikan sebagai sebuah camera obscura yang memperlihatkan gambar terbalik dari objek yang di perlihatkan—atas menjadi bawah, kiri menjadi kanan dan seterusnya. Yang seharusnya kita kritisi adalah sebuah ideologi yang bersembunyi dalam sistem yang secara tidak sadar kita anggap sebagai hal yang biasa dan telah menjungkirbalikkan realitas.

Referensi
Anthony Brewer, terjemahan dari: Narasi Pustaka Pramethea, 2016. Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Yogyakarta.

K.Bertens, 1997. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius.

Sindhunata, 2019. Dilema Usaha Manusia Rasional Teori Kritis Sekolah Frankfurt Max Hokheimer & Theodor W. Adorno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jared Diamond, Terjemahan dari: Kepustakaan Populer Gramedia. Guns, Germs & Steel: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia. Jakarta.

Dede Mulyanto, 2016. Marxisime dan Evolusi Manusia. Bandung: Ultimus.


Ditulis oleh:


Yudha Prakasa

No comments