Kepentingan Diri di Era Modern
Tulisan ini berangkat dari diskusi yang
diselenggarakan KomunikeCraft pada rabu, 14 april 2021 yang diisi oleh bung Martin
Suryajaya, di mana ada beberapa hal yang dibahas yang kemudian cukup
membuka cakrawala penulis dan kemudian menimbulkan niat untuk mereview kembali
pembahasan diskusi tersebut.
Berangkat dari pertanyaan, apakah hal yang paling
mendasar yang membentuk ekonomi modern saat ini? Cara pertama untuk menjawab pertanyaan
tersebut adalah membedakan istilah “era modern” dengan “modern”. Istilah “era modern” dalam filsafat mengacu
pada periode 1600-1900, tidak bisa kita samakan dengan ilmu-ilmu lain yang
biasa istilah “modern” diartikan sebagai abad ke-20 atau
kontemporer. Hal
ini cukup wajar karena filsafat adalah induk bagi semua ilmu pengetahuan dan
karena itu juga filsafat lebih tua dibandingkan ilmu-ilmu lain; apa yang jadi kuno bagi
ilmu-ilmu lain, modern bagi filsafat.
“Era modern” ditandai oleh beberapa
perbedaan kontras dengan abad sebelumnya yaitu abad pertengahan, yaitu:
Pertama, individualisme adalah lahirnya konsepsi tentang
manusia sebagai individu, dan bukan sebagai anonim dari sebuah komunalitas. Lahirnya individualisme
tepatnya pada abad pertengahan, seseorang dianggap sebagai bagian dari suatu kelompok misalnya dilihat
dari agamanya, ras, suku, atau kelompok lainnya yang kemudian menghilangkan
sisi individu dari seseorang tersebut. Pada era modern pandangan ini berubah
menjadi individualisme yang melihat seseorang tanpa embel-embel agama, suku,
ras, dan asal dari orang tersebut atau individu yang mandiri, pandangan ini
juga ada hubungannya dengan munculnya filsafat nominalisme.
Kedua, lahirnya
kapitalisme. Pada awalnya ekonomi hanya
berguna untuk pemenuhan kebutuhan, kini di “era modern” berubah menjadi
pengejaran laba, dalam kerangka inilah kapital yang awal mulanya sebagai ranah
sirkulasi kemudian masuk mendesak dan mentransformasi ranah produksi.
Dan ketiga, lahirnya sains. Kebenaran otoritas agama
tidak lagi menjadi kebenaran satu-satunya yang ada pada “era modern”, kebenaran sains muncul
dari upaya untuk melakukan penyelidikan mandiri atas kenyataan, tetapi agama
masih penting walau bukan satu-satunya lagi kebenaran yang ada dan bukan
satu-satunya lagi rujukan kehidupan sosial yang ada.
Dalam situasi itu, kelahiran kapitalisme mendapat perhatian khusus dari kalangan intelektual pada masa itu dan yang paling ribut mempermasalahkan hal tersebut adalah Karl Marx. Situasi itu ia sebut sebagai “akumulasi primitif”. Pada masa feodal, tenaga kerja dikelola dalam mekanisme kerja-hamba (serf-labour).
Di setiap tahun, dalam beberapa bulan setiap anggota masyarakat dipaksa untuk bekerja di industri milik tuan tanah, kemudian baru bisa menggarap tanah komunal mereka. Pada akhir abad ke-16, di Inggris terjadi pengalihan fungsi tanah pertanian masyarakat komunal menjadi ladang domba untuk produksi wol—sejenis rambut atau bulu dari hewan yang digunakan sebagai bahan dasar membuat kain dan pakaian lainnya— dan ini mendapat dukungan pemerintah melalui undang-undang.
Legitimasi pengalihan fungsi ini memaksa para petani untuk memberikan tanah mereka kepada para pemodal yang bekerja sama dengan pemerintah pada saat itu, hal ini menyebabkan para petani harus kehilangan tanah dan pekerjaan mereka sebagai pengelola produksi, dan akhirnya para petani terpaksa menjadi pekerja di kota besar atau menjadi buruh upah di tanah mereka sendiri.
Melalui suatu laku politik, para produsen dipisahkan
dari sarana produksinya dan di transformasi menjadi pekerja upahan. Itulah yang
dimaksud Karl Marx
sebagai “akumulasi primitif” sebagai pintu masuk menuju modus produksi
kapitalis dengan penciptaan kelas baru: pekerja-upahan (wage-labour).
Dari beberapa
kritik yang diajukan tadi salah satunya Karl Marx, tentulah ada beberapa perubahan
di ranah gagasan ekonomi, yaitu lahirnya: Individualisme
metodologis, yang mulai di terima sebagai pendekatan keilmuan:
keseluruhan hanya bisa dijelaskan melalui bagian-bagian. Masyarakat tidak lebih
dari daripada kumpulan individu, sehingga menjelaskan perilaku
individu-individu dengan sendiri menjelaskan perilaku masyarakat.
Lahirnya laba, yang dijelaskan oleh Max Weber, tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang buruk secara moral, tetapi dilihat sebagai sesuatu bukti
kerja keras individual dan bahkan dianggap sebagai suatu kesalehan.
Terakhir lahirnya praktik kelimuan dilihat
sebagai praktik deskriptif, bukan idealisasi yang abstrak. Sains abad
pertengahan bergerak dengan deduksi dari model-model ideal yang dianggap
sebagai kodrat manusia, sedangkan sains era modern berangkat dari deskripsi
atas kenyataan yang faktual atau empiris
Dalam filsafat ekonomi, 3 hal itu menjadi titik
munculnya konsep self-interest atau
kepentingan diri yang bercorak individualistik, mengejar laba, dan tidak bisa
disalahkan secara moral.
Lahirnya kepentingan diri
ditandai oleh kesadaran baru tentang kodrat manusia, pada abad pertengahan para
intelektual melihat manusia sebagai makhluk yang inheren baik (karena
diciptakan Tuhan sesuai
citra-Nya).
Abad pertengahan > moralitas > kitab suci > Tuhan.
Pandangan antropologi-filosofis ini mulai
ditinggalkan di era modern. Para filsuf era modern berangkat dari observasi empiris
bahwa manusia dalam segala bidang selalu mengupayakan keuntungan bagi dirinya
sendiri (egoisme), ini adalah fakta kodrati yang tidak boleh dianggap baik atau
buruk secara moral.
Bergesernya pengandaian antropologis-filosofis ini memungkinkan
lahirnya bagi landasan baru filsafat ekonomi, yaitu “Homo Economicus” yang diartikan sebagai asumsi metodologis tentang
subjek ekonomi yang digerakan oleh dasar kepentingan diri (Self-interest). Seorang sebagai subjek ekonomi dianggap
rasional apabila aktivitas ekonomi berangkat dari dasar kepentingan-diri,
memaksimalkan manfaat, meminimalkan ongkos.
Dalam pengandaian baru ini, moralitas bukan lagi patokan dasar
satu-satunya untuk menilai suatu kegiatan ekonomi seperti pada abad pertengahan,
tetapi hanya sebagai salah satu cara yang mungkin untuk memaknai
kepentingan-diri karena kita tidak bisa lari dari “hasrat”: “hasrat untuk berbuat baik” maupun “hasrat untuk tidak berbuat
baik”, dan “hasrat” bertumpu pada
kepentingan-diri, maka kepentingan diri harus diterima sebagai landasan bagi
segala teori ekonomi modern.
Pra modern > kepentingan-diri > egoisme > manusia.
Perspektif kepentingan-diri ini berawal dari pemikiran Bernard de Mandeville (1670-1733) yang mengumpamakan tentang koloni lebah yang bekerja masing-masing dengan dorongan alamiahnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri-sendiri. Walaupun begitu, dorongan egois ini nyatanya berkontribusi positif untuk pencapain koloni lebah secara keseluruhan. Demikian pula dengan pembagian kerja manusia, ada kelas tuan tanah yang sedikit kerja tapi banyak untung, ada kelas pekerja yang susah payah bekerja namun mendapatkan sedikit untung dan ada pula kelas pedagang yang mengantarai keduanya.
Masing-masing individu bekerja sesuai kepentingan-dirinya untuk
meraup laba. Hasilnya, dari kejahatan privat masing-masing pada tingkatan mikro terciptalah suatu
keutamaan publik di tingkat makro. Agar bisa terjadi, perlu “mekanisme pasar”
dan fungsi optimal pemerintah sebagai sosok yang menjalankan kanalisasi atas
kejahatan-kejahatan pribadi itu yang menghilangkan harmonisasi, dan tatanan
yang baik dengan cara mengaturnya sehingga melahirkan kebijakan yang memiliki
orientasi kebaikan bersama.
Perspektif kepentingan-diri yang lebih ekstrim lahir
dari seorang pemikir Jeremy Betham (1748-1832), yang mengasumsikan manusia
digerakan oleh pengejaran atas kenikmatan dan penghindaran atas rasa sakit. Apa
yang baik = apa yang nikmat. Apa yang buruk = apa yang sakit. Filsafat ekonomi
dibangun dari fakta universal ini, tidak ada idealisasi manusia altruis, karena
altruisme adalah suatu egoisme; senang membuat orang lain senang.
Terakhir, ekonomi modern yang berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai hari ini tidak terlepas dari tumpuan pada pengandaian yang diwarisi dari era modern; kepentingan-diri yang menjadi landasan utama realitas ekonomi. Apa yang terjadi pada abad ke-19 hanyalah penjernihan atas konsep kepentingan-diri sebagai perkara teknis saja, inilah yang kemudian dilihat dalam konsep utilitas, yakni manfaat subjektif suatu komoditas yang menjadi basis bagi nilai komoditas itu. Jelas bahwa yang terjadi dalam ekonomi modern saat ini adalah konsekuensi dari apa yang dimulai pada era modern, sebuah sistem yang dikonstruksi dari kepentingan-diri, dan bukan moralitas seperti pada abad pertengahan.
Ditulis oleh:
Nuzul Bayahi
Post a Comment