Jurnalisme Sastrawi di Simpang Kraft
Jurnalisme
Sastrawi di Simpang Kraft
"Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft" (lihat di sini) adalah suatu karya jurnalisme sastrawi—atau kebanyakan menyebut
genre juranalisme itu dengan istilah narrative
reporting—yang ditulis oleh Chik Rini, jurnalis perempuan dari Aceh, dan
diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada 6
Mei 2002. Suatu laporan jurnalistik yang menceritakan peristiwa kerusuhan di
Krueng Geukueh, Aceh utara tepatnya 21 tahun silam setelah tulisan ini dibuat
(30/05/2020).
Sebenarnya apakah yang
membuat laporan jurnalistik "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" menjadi menarik ketimbang
laporan juranalistik lain yang melaporkan kejadian yang sama? Kalau dilihat
kembali, apa yang membuat karya jurnalisme tersebut masih terus dibaca hingga
hari ini?
Beberapa waktu yang
lalu saya sempat mengikuti kelas menulis online yang diadakan oleh Yayasan
Pantau (29/05/2020) yang diarahkan langsung oleh mas Andreas Harsono. Dalam
kelas tersebut penulis "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraf" dihadirkan langsung
dalam kelas untuk membahas tulisannya tersebut.
Setelah kelas
berlangsung cukup lama, perlahan saya mulai paham apa yang membuat karya itu
menjadi menarik untuk dibaca, yaitu, laporan tersebut dikemas dalam bentuk
laporan sastrawi atau narrative.
Dalam genre ini
(jurnalisme sastrawi atau narrative
reporting) berbeda dari reportase
sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene
by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting),
menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view),
serta penuh dengan detail. (Tom Wolfe, 1973)
Namun jenis jurnalisme
seperti ini tebilang cukup jarang di Indonesia, kecuali Tempo salah satu media
yang menjadi inisiatornya sekitar 1990-an, pasalnya sejarah perkembangan
jurnalisme Indonesia sempat tersendat atau mempunyai penghambat besar pada masa
orde baru yang membuat kebebasan pers bungkam.
Terkadang pembaca
menginginkan jenis laporan jurnalistik yang enak dibaca atau memikat sekaligus
relevan, artinya tidak melulu hanya laporan yang dipenuhi oleh data dan
angka-angka yang membuat laporan tersebut sangat kering sekalipun itu relevan.
Untuk membuat
jurnalisme memikat sekaligus relevan saat dibaca maka jenis jurnalisme sastrawilah
manjadi alternatfnya. Namun perlu diingat bahwa konsekuensi jenis jurnalisme
tersebut adalah harus ditulis dalam laporan panjang, bahkan melebihi 15.000
kata per laporan, karena memerlukan daya narrative
atau ditulis dalam bentuk cerita—sama seperti saat menulis novel atau
cerita pendek.
Karena konsekuensi
dalam menulis secara narasi dalam laporan jurnalistik maka hal tersebut
memerlukan waktu yang lama bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun karena
memerlukan apa yang disebut oleh Robert Vare (2000) sebagai series of time.
Singkatnya, suatu
laporan jurnalisme sehari-hari itu seperti hasil sebuah potret kamera yang
didapatkan sekali dalam kejadian sehingga sang jurnalis melaporkan dalam media
hasil potretnya tersebut sedangkan narrative
reporting diibaratkan sebagai sebuah film yang berputar, video.
Karena di zaman
semodern ini yang ditambah dengan lahirnya era industri dan kapitalistik, di
mana semua hal yang dikerjakan oleh manusia itu harus bernilai dan mempuyai
daya tukar sebagai komoditas, atau berbasis idealisme pasar.
Hal itulah kenapa
kebanyakan media tidak mau menerapkan gaya jurnalisme narrative karena pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama,
karena dalam dunia jurnalisme waktu adalah hal yang paling berharga.
Saat saya membaca
kembali laporan "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" yang notabene-nya diterbitkan sejak tahun 2002. Sekalipun telah 18 tahun
silam laporan tersebut dibuat, ketika membacanya kembali saya mulai masuk dalam
cerita bahkan bisa saja merasakan terlibat lagsung dalam peristiwa tersebut.
Apa yang membuat hal di
atas bisa terjadi? Jelas, hal tersebut adalah suatu pengalaman psikologis-subjektif pembaca atau kita bisa merasakan dimensi
psikologis dalam bacaan. Hal itu dikarenakan jurnalisme tersebut dikemas dalam
bentuk narrative sehingga memerlukan
plot cerita yang sangat detail bahkan pengalaman subjektif masing-masing tokoh
dalam cerita.
‘Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft’ ditulis sebagai kisah dalam sudut pandang seorang jurnalis,
artinya tokoh utama dalam cerita itu adalah seorang jurnalis.
Ada 5 tokoh utama dalam
cerita tersebut, Imam Wahyudi (Wartawan RCTI), Fipin Kurniawan (Kamerawan
RCTI), Azhari (Koresponden LKBN Antara), Umar HN (Koresponden RCTI), dan Ali
Raban (Kamerawan Umar HN).
Struktur tulisan
tersebut bisa digambarkan dengan ilustrasi 2 segitiga yang saling menempel
dengan posisi segita pertama di atas dan segitiga kedua di bawah dan disusun
secara hierarkis.
Pada segita pertama
susunan paling atas, terletak di samping ujung segitiga, adalah kedatangan
wartawan RCTI di Lhokseumawe, susunan kedua adalah kilas balik hilangnya sersan
Aditia, dan susunan ketiga pengumpulan massa oleh aktivis GAM dan warga di
Simpang Kraft.
Segitiga yang kedua,
dengan posisi terbalik, pada susunan di tengah adalah penembakkan orang-orang Aceh
oleh tentara, susunan selanjutnya tergeletaknya korban-korban penembakkan di
jalanan, lalu susunan ketiga adalah situasi Lhokseumawe beberapa jam kemudian,
dan yang terakhir pada ujung lancip segitaga terbalik terdapat Epilog.
Saat menerapkan gaya
jurnalisme sastrawi ini, apakah hal tersebut akan berdampak pada direduksinya
dimensi fakta dalam memberikan laporan jurnalistik? Secara keseluruhan
jurnalisme sastrawi tidak akan mempengaruhi muatan fakta dalam laporan jurnalis
tersebut karena pada dasarnya jurnalisme harus mensakralkan fakta, namun tidak
sebagai tujuan.
Dalam "Sebuah Kegilaan
di Simpang Kraft" sekalipun ditulis dalam bentuk narrative yang enak dibaca dan panjang namun tokoh-tokoh, tempat, kejadian,
bahkan jumlah korban berjatuhan ditulis berdasarkan fakta yang terjadi.
Karena fakta adalah
salah satu unsur dalam elemen jurnalisme sebagai pendukung terbentuknya
kebenaran. Namun kebenaran seperti apa? Bukankah konsepsi akan kebenaran itu
berbeda-beda? Agama, sains, ideologi, bahkan filsfat mempunyai pandangan
berbeda akan kebenaran.
Kebenaran dalam
jurnalisme bukanlah pada tataran filosofis namun kebenaran yang dibutuhkan
masyarakat, yaitu kebenaran fungsional. (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001)
Yudha Prakasa
Post a Comment