Aku Memahami Dunia dari Buku yang Belum Terbaca
Pernahkah Anda memiliki kemampuan untuk menjelaskan mengenai cara kerja dari sistem yang begitu rumit, katakanlah sebuah mesin komputer. Untuk seorang mahasiswa IT atau Computer Engineering—salah satu bidang dan profesi di bagian rekayasa komputer dan pemrograman—tentu bukanlah suatu perkara yang sulit.
Namun ketika seseorang
bertanya kepada Anda mengenai perbedaan rasa dari secangkir latte dan cappuccino, kemungkinan besar Anda akan sulit menjelaskannya tidak
seperti saat Anda menjelaskan sebuah komputer. “Berhentilah bertanya dan segara
habiskan kopimu” begitulah jawabanmu. Jawaban lain yang lebih tepat: “Aku tidak
tahu”.
Lebih jauh lagi,
bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai suasana hati kita atau pengalaman
keseharian kita seperti meminum secangkir latte
atau cappuccino tadi. Anda ingin
menjelaskan kepada teman Anda mengenai suasan hati: gembira, rasa sedih, dan
lain-lain atau bahkan pengalaman meminum latte
lebih enak ketimbang cappuccino
atau sebaliknya. Tetapi Anda kebingungan untuk mencari kata yang pas dan merasa
apapun yang nantinya Anda katakan tidak sesuai dengan apa yang Anda rasakan.
Mungkin terdengar
konyol ketika pertanyaan yang Anda telah andaikan tahu jawabannya, namun muncul
kembali di hadapan Anda. Pertanyaan-pertanyaan yang remeh-temeh seperti itu
kerap muncul untuk sesegera mungkin dijawab.
Semua ini hanyalah
mengenai: apa yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui; yang dipahami dan
tidak terpahami, atau bahkan suatu kebajikan itu sendiri.
Sederhananya, secara
mendasar kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang muncul bukan hanya seputar “Know-How”-nya sesuatu melainkan lebih
pada “Know-What” atau ke-apa-an
sesuatu itu.
Berhutang
pada Sophis, Aristoteles, dan
Socrates
Biasanya manusia
cenderung telah mengandaikan pengetahuan yang mereka dapatkan, entah dari buku,
sekolah, bahkan kawan diskusi, tanpa mempertanyakan keabsahan pengetahuan itu
sendiri. Kita, sebagai manusia secara kodratnya, berpengetahuan.
Untuk memudahkan, saya
akan membicarakan sedikit mengenai sejarah filsafat.
Saat semua filsuf
pra-Sokratik masih saja berdebat pada “Realitas” dan mengandaikan begitu saja
pengetahuan mengenai “Realitas” itu mungkin, para Sophis justru telah
meninggalkan pertanyaan dan perdebatan serupa. Lebih tepatnya mendekat pada
pengetahuan manusia. Untuk pertama kalinya praktik manusia (politik, lembaga-lembaga,
dan norma sosial) benar-benar diselidiki.
Protagoras: “Manusia
adalah ukuran dari segala sesuatu”. Bahkan lebih radikal. Gorgias: “Tidak ada
sesuatu pun yang disebut kenyataan. Seandainya ada, kita tidak dapat
mengetahuinya. Bahkan, seandainya kita dapat mengetahuinya, kita tidak dapat
mengkomunikasikan pengetahuan kita” (Dr. Hardono Hadi, 1994).
Begitulah para Sophis
yang terkenal skeptis, mungkin saja skeptis radikal.
Jika melompat lagi ke
beberapa abad setelahnya. Aristoteles (384-322) mengawali semua problem
tersebut dengan pernyataan “Semua manusia secara kodratnya ingin tahu”. Socrates
(470-339) justru memulainya dengan “Aku tidak tahu apa-apa”. Dua hal itu begitu
berkebalikan, namun kita masih memiliki kemungkinan untuk mempertemukannya.
“Kita ingin mengetahui
segala sesuatu”, ala Aristotelian, justru berangkat dari kesadaran Sokratean
bahwa awalnya kita “memulai pengetahuan itu dari rasa ketidaktahuan” akan
sesuatu.
Maksudnya adalah dua hal
yang kita tahu begitu berbeda: pengetahuan dan ketidaktahuan merupakan satu
kesatuan yang serupa untuk memulai kesadaran akan pengetahuan, bahkan
kebijaksanaan, itu sendiri
Buku
Apa yang Belum Anda Baca
Ketika masih mahasiswa,
saya sering menghabiskan malam di rumah salah satu senior dan aktivis
organasasi kemahasiswaan yang saya ikuti. Kami berdiskusi banyak hal sepanjang
malam, tak hanya itu, ia bahkan menunjukan koleksi buku yang dimilikinya.
Sebagai seorang aktivis organisasi pemula, saya terkagum dengan berbagai macam
buku yang ia miliki.
Ia bicara banyak hal
seperti seorang pakar, namun apa yang dibicarakannya masih seputar buku-buku
yang telah ia baca dalam perpustakaan kecilnya. Belakangan ini saya berpikir
bahwa kebanyakan orang, termasuk senior yang saya sebutkan barusan, seringkali
membicarakan banyak hal yang mereka ketahui, namun mereka jarang sekali
membicarakan apa yang belum dan tidak terketahui.
Aneh ketika kita
berpikir seperti itu, namun memang seperti itulah kenyataannya. Kita mengetahui
mengenai apa yang telah kita ketahui, namun kita tidak mengetahui apa yang
belum atau akan terketahui (What we know
and what we don’t know).
Karena apa yang belum
kita ketahui tersebut, kita sering membuat prakiraan dan analisa mengenainya,
seolah-olah akan kelihatan bahwa kita mengetahui segala-galanya. Pengetahuan
umum manusia bekerja seperti itu—masih ingat pengetahuan ala Aristotelian dan
Sokratean yang telah saya jelaskan di atas.
Kencenderungan manusia
adalah bersikap ketika seiring pengetahuan mereka bertambah ada suatu kebiasaan
umum untuk membedakan orang yang “banyak tahu” dan “hampir lebih tidak
tahu”.
Coba kita perhatikan,
seorang akademisi ekonomi di salah satu universitas ternama sering kali kita
melihat mereka di berbagai acara televisi untuk menjelaskan analisis atau
semacam ramalam mengenai krisis ekonomi yang akan melanda suatu negara kedepan.
Dengan data-data di tangan, Ia meramalkan dengan baik mengenai ekonomi suatu
negara. Orang-orang seperti ini biasa kita sebut sebagai para pakar.
Berbeda dengan seorang,
katakanlah, pengemudi ojek online. Mereka sadar bahwa mereka tidak sama seperti
seorang pakar. Mereka tidak bisa menjelaskan mengenai ramalan perekonomian
suatu negara kedepannya. Namun menariknya mereka lebih tahu bahwa tidak ada
seorang pun mengetahui segala seusuatunya, mereka sadar akan ketidaktahuan mereka.
Saya tidak bermaksud
untuk menjelaskan suatu kebencian intelektual, bahwa kita harus berhenti
membaca banyak buku, atau kita harus tidak percaya pada seorang sarjana ekonomi
atau semacamnya. Hal itu bukanlah pilihan yang tepat. Yang ingin saya jelaskan
adalah seiring bertambahnya pengetahuan, manusia seringkali terjebak dalam apa
yang disebut sebagai suatu kondisi “arogansi epistemik” yang berarti rasa
percaya diri berlebihan mengenai pengetahuan yang kita miliki.
Seiring dengan
bertumbuhnya pengetahuan namun bersamaan juga dengan bertambahnya kebanggan dan
kepercayaan diri yang berlebihan mengenai pengetahuan tersebut, merupakan
ancaman yang akan membuat pengetahuan manusia menjadi suatu kebodohan, dan
kerancuan.
Kita tidak lagi
mengakui batas-batas sampai di mana pengetahuan kita.
Implikasi dari arogansi
epistemik ini adalah kita akan terlalu banyak menaksir sesuatu yang kita
ketahui secara berlebihan, dan akan meremehkan serta mereduksi wilayah di mana
ketidaktahuan itu berada (arti dari wilayah ketidaktahuan adalah di mana
wilayah yang justru kita akan tersadar batas-batas pengetahuan kita sendiri).
Dan anehnya, ini
terjadi pada kebanyakan para pakar yang saya sebut sebagai “yang banyak tahu”.
Mereka, para pakar,
cenderung untuk menjelaskan suatu fenomena. Ketika analisis mereka mengenai
suatu fenomena tertentu itu ternyata terbukti benar, mereka menghubungkannya
dengan banyaknya pengetahuan dan kedalaman pengetahuan yang mereka miliki.
Namun sebaliknya, ketika justru terbukti salah mereka menyalahkan suatu situasi
yang tidak masuk akal, atau tidak biasa terjadi secara umum. Tidak menyadari
wilayah ketidaktahuan itu.
“Apa yang kita ketahui
adalah setetas air, apa yang tidak kita ketahui adalah lautan” kata Newton
ketika sedang duduk di bawah pohon apel.
Dalam filsafat
pengetahuan, pengetahuan manusia adalah suatu a-letheia. Artinya pengetahuan merupakan penegasan diri dan terarah
pada “Ada” dan “Realitas”. Namun kembali ke pertanyaan para Sophis, sampai di
mana pengetahuan kita mengenai sang “Ada” atau “Realitas” itu? Bagaimana kita
bisa mengkomunikasikannya?
Pengetahuan manusia
adalah suatu mode manusia untuk berada atau eksis, namun Heidegger mengatakan
manusia berada sekaligus dengan ketiadaannya. Artinya bahwa kita memiliki
seperangkat pengetahuan untuk mengada, katakanlah kita memiliki banyak
pengetahuan mengenai dunia; dunia itu ada. Tapi bersamaan dengan pengetahuan
itu keraguan mengenai pengatahuan yang kita miliki, sebagai bentuk
ketiadaannya, mulai muncul: apakah aku benar, mungkin saja saya salah dalam hal
ini, jangan-jangan ini hanya sebuah ilusi.
Sudah hal yang umum
kita ketahui bahwa kebanyakan pengetahuan yang kita dapatkan bersumber dari
buku-buku yang kita baca. Namun Anda harus tahu bahwa buku yang belum terbaca,
dan masih tersimpan rapi di atas rak buku; menunggu giliran untuk dibaca
memberikan suatu daya pengetahuan yang luar biasa besar sama halnya seperti
semua buku yang sudah Anda baca. Sebuah perpustakaan yang baik harus menyimpan
begitu banyak buku-buku yang belum terbaca.
Referensi
Nassim Nicholas Taleb,
terjemahan dari: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Jakarta. The Black Swan: Rahasia
Terjadinya Peristiwa-Peristiwa Langka yang Tak Terduga.
Dr. P. Hardono Hadi,
1994. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan.
Penulis
Yudha Prakasa
Post a Comment