Mahasiswa dalam menyikapi Buzzer Politik di Media Sosial
Di era revolusi 4.0 ini, perkembangan digitalisasi teknologi informasi dan komunikasi terus bertumbuh dan berlangsung begitu cepat. Faktor ditemukannya internet membuat perkembangan teknologi, terutama media komunikasi, semakin canggih . Dengan kemudahan yang ditawarkan seperti akses informasi yang sangat cepat tanpa adanya batasan ruang dan waktu media sosial dipilih masyarakat sebagai media komunikasi.
Pemanfaatan teknologi media sosial juga berperan
dalam kegiatan produktif seperti mengoptimalkan nilai tambah ekonomi dan
membangun kerjasama segenap masyarakat, dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat, di tengah persaingan global. Media sosial juga berdampak positif,
ditandai dengan mulai adanya transaksi online, e-commerce, dan yang lainnya.
Namun sisi negatifnya kemudahan yang
ditawarkan oleh media digital juga mendapat kontra produktif, apabila ruang
publik mulai disuguhi oleh informasi yang diproduksi melalui media sosial
seperti hoax, informasi palsu, dan informasi keliru yang berpotensi
menggoyahkan keberagaman karena pendistribusiannya sangat cepat tanpa batas
ruang dan waktu.
Dengan segala kemudahan yang ditawarkan
menyebabkan media sosial mulai dimanfaatkan sebagian orang untuk mempromosikan
produk-produk. Orang yang menjalankan kegiatan tersebut kemudian kita kenal
sekarang dengan istilah buzzer. Kata buzzer berasal dari
bahasa Inggris ‘bell’ atau alarm, pada awalnya digunakan untuk mempromosikan suatu produk
tertentu dengan atau tanpa imbalan.
Namun, sejak tahun 2014, ketika pemilihan
umum (pemilu) dilangsungkan di Indonesia, jasa buzzer mulai dilirik oleh aktor-aktor politik, mengalami pergeseran
peran. Dilansir dari Kumparan.com, profesi buzzer
memiliki dua kategori yakni, buzzer yang
dilakukan secara sukarela dan buzzer
sesuai permintaan. Biasanya buzzer
sesuai permintaan ini dilirik oleh para aktor politik seperti untuk memenangkan
pilkada, pileg, hingga pilpres (Kumparan News, 2018).
Buzzer sendiri dapat didefinisikan sebagai
akun anonymous yang memiliki
kemampuan mendistribusikan pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun
percakapan dan bergerak dengan motif ideologis/politik atau motifi ekonomi. Motif itulah yang
kemudian mengalami pergeseran nilai dari ranah bisnis hingga masuk ke politik.
Menyinggung soal Politik, Rocky Gerung mengatakan dalam sebuah seminar: “Inti dari politik
adalah komunikasi”. Secara fundamental hal tersebut
akan menghadirkan sebuah pertanyaan mengenai politik
itu sendiri: Apa
itu politik? Aristoteles memahaminya berasal dari Politikon “polis” (Negara-kota) yang membentuk
masyarakat relasi antar individu. Beranjak dari teori klasik Aristoteles yaitu
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Berbicara tentang politik berarti kita berbicara tentang kebutuhan
(Ekonomi) dan kebijakan yang hadir harus tepat dengan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi
saat ini memberikan
dampak yang besar terhadap
proses pelaksanaan Politik. Akibatnya, Politik mengalami
pergeseran ruang di mana yang
dahulu masih dengan cara-cara konvensional sekarang menuju digitalisasi
komunikasi. Konsekuensi dari perkembangan ini tentu politik praktis yang makin
tumbuh liar karena kebebasan akses informasi yang begitu mudah.
Pengguanan
media sosial untuk
saat ini menjadi
arena politik yang sangat mudah
untuk diakses oleh publik,
mulai dari pemerintah
dalam mempublikasikan program-program kerjanya,
Politisi dan Partai
politik dalam menambah
elektabilitas dan popularitas, bahkan
masyarakat sipil pada
umumnya menggunakan media
sosial untuk mengakses
informasi-informasi yang sedang berkembang saat
ini.
Belum lagi peran buzzer politik yang dimanfaatkan untuk membentuk persepsi
dan pandangan masyarakat akan kandidat politik tertentu, bahkan menyentuh
isu-isu sensitif dan membuat serta menyebarkan berita-berita hoax dan hatespeech antar lawan politik yang
kemudian akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Lantas timbul pertanyaan, Bagaimana kita
sebagai mahasiswa menyikapi buzzer politik
di media sosial yang kian hari makin liar? Apa tawaran dari mahasiswa melihat
fenomena sosial
ini?
Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang
masih memiliki kesadaran kolektif, selayaknya berupaya untuk memperkuat tradisi
dalam menghasilkan ide-ide dan gagasan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
tanggung jawab sosial . Ada beberapa gerakan tawaran yang perlu mahasiswa
hadirkan.
Pertama, Mahasiswa sebagai social control harus turut andil dalam pendidikan politik kepada masyarakat agar
publik mengetahui kebijakan atau isu terkini mengenai pemerintahan. Masyarakat
umum cenderung naïf memahami maksud tujuan politik padahal sempitnya pemahaman
tentang politiklah yang menjadi akar perpecahan di tengah masyarakat.
Kedua, Mahasiswa harus turut andil dalam
gerakan literasi digital merupakan upaya menyadarkan masyarakat tentang
pentingnya meningkatkan pengetahuan menggunakan teknologi digital dan alat
komunikasi untuk mengakses, menerima, menganalisis, serta mengevaluasi
informasi dengan efektif. Dengan gerakan literasi digital ini, masyarakat
dilatih untuk mengoptimalkan kebaikan dalam bermedia sosial, mengakses informasi atau
berita dari media yang telah terverifikasi atau terdaftar di dewan pers—salah satu lembaga pers tertinggi di Indonesia. Serta tidak mudah menerima informasi yang datang dari perorangan
atau kelompok, sebelum menguji kebenaran terhadap informasi tersebut.
Referensi
Buku :
1. Syafiie, Inu Kencana . 2010.
Ilmu Politik / H. Inu Kencana Syafiie, Jakarta: Rineka Cipta.
2. Haris, Syamsuddin. 2014.
Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Jurnal :
1. Akmaliah, W. (2018). Bukan Sekedar Penggaung (Buzzers): Media Sosial dan Transformasi Arena Politik. MAARIF Journal.
Penulis
P
Post a Comment