BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Hanya Sekadar Ingin Menulis - Media Publikasi

Header Ads

test

Hanya Sekadar Ingin Menulis

 

Sebuah tulisan yang baik adalah tulisan yang benar-benar memberikan pemahaman kepada banyak pembaca. Pemahaman itu meliputi: pengertian, penjelasan, pendefinisian, atau hal-hal lainnya yang membuat seseorang mengatakan “oh akhirnya saya paham”.

Anda tidak akan menemukan hal-hal seperti itu pada setiap tulisan yang akan saya buat nanti—semoga saja. Saya bukan seorang guru, yang diberi tanggung jawab untuk memberikan banyak pemahaman dan pengetahuan. Saya hanya ingin sekadar menuliskan apa yang ingin saya ceritakan.

Memang tidaklah mudah untuk menulis, saya berulang kali merasakan hal itu—mungkin saja Anda merasakan hal yang sama—apalagi sebuah tulisan yang begitu sistematis yang berisi banyaknya konsep-konsep abstrak, dengan gaya tulisan yang formal, saya jamin Anda tidak akan lagi membaca tulisan tersebut  paling banter jika itu merupakan sebuah keterpaksaan yang mendorong Anda untuk membacanya lagi.

Di setiap tulisan saya hanya akan mencoba untuk membebaskan setiap kata, memasangkan sepasang sayap kepada mereka dan menjadikan mereka seekor burung layang-layang. Itulah yang saya dapatkan dari sajak-sajak Sutardji.

Ada sebuah kredo yang terkenal dari sosok Sutardji: mengembalikan kata kepada mantra. Ia melanjutkan: “Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri”. Apa yang saya lihat adalah kata harus terlepas dari beban tanggung jawab makna dan pendefinisian, ia adalah dirinya.

Setiap kata yang baik, dan mungkin saja benar, adalah bukan ketika Anda ingin mengatakan tentang kata-kata tersebut, namun ketika sebuah kata menjadi perlu bagi diri mereka sendiri.

Maksud saya begini. Saya mungkin tidak dapat berfilsafat, berpikir, dan membuat suatu abstraksi bila saya sendirian. Namun jika saya mencoba untuk mendiskusikan konsep-konsep yang abstrak tersebut kepada Anda, maka itu membutuhkan sebuah perangkat logika untuk setiap argumentasi dengan begitu setiap konsepsi abstrak akan muncul dengan sendirinya.

Saya tidak punya niatan untuk menulis seperti Sutardji. Bodoh! Begitu sulitnya. Saya hanya terinspirasi darinya, dan itu bukanlah suatu kesalahan apalagi larangan. Bayangkan sudah 315 kata yang saya tulis—sampai pada kata ini—dan beberapa karakter—Anda bisa menghitungnya sendiri—saya tidak bisa lepas dari tendensi pendefinisian; makna pada setiap kata yang ditulis.

Sudah kubilang dari awal saya hanya sekadar ingin menulis. Itu saja.

Ada suatu dorongan yang membawa saya sampai ngebet menulis apapun yang terpikirkan. “Menulislah apapun yang ingin kamu tulis: bacaanmu, hasil diskusi, pengalaman. Tidak ada yang melarang kamu menulis”, kira-kira begitulah perkataan seorang guru filsafat yang mengajari saya sebuah “philosophy as a way of life” sewaktu di Manado.

Anda bisa menyebut apa saja pada sebuah micro-project yang nanti akan saya kerjakan ini. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai catatan harian. Itu bukan tanpa alasan, bagi saya kehidupan keseharian ini sama persis seperti suatu tragedi yang ditulis dalam naskah drama Shakespear: “Hamlet”. Selayaknya seorang Hamlet hanya membutuhkan suatu kebenaran kecil terungkap dan oleh karena itu membuatnya jatuh dalam kegilaan.

Maka saya akan mencoba membuat beberapa tulisan dari hasil dan proses ekseperensial (baca:pengalaman), sebuah kontemplasi yang remeh-temeh. Maklumilah, saya belum bisa mencapai tingkatan yang filosofis. Karena mengerti bahkan memahami adalah untuk merasakan dan mengalami. Dan itu hanya bisa didapat dalam kehidupan kesaharian.

Untuk mengangkat pengalaman keseharian itu ke dalam sebuah konsepsi untuk ditulis bukanlah perkara yang mudah. Semua dari kita mengalami banyak hal setiap harinya, namun tidak satu pun yang dapat kita tulis. Kalau itu bisa dilakukan maka saya akan menulis setiap catatan layaknya “Pergolakan Pemikiran Islam”-nya Ahmad Wahib. Jika perlu “Catatan Pinggir” Goenawan Moehamad.

Saya akan mencoba beranjak lebih jauh lagi. Bagi Konstantin Stanislavsky, dalam penelitianya di setiap pementasan teater, seorang aktor dalam memainkan perannya di atas pentas untuk membuat penonton terkesima ia harus melukiskan apa yang ia tidak rasakan, itu adalah sebuah “mood” (suasana hati) yang wajar yang sering terlihat.

Pada kondisi seperti itu seorang aktor dipaksa mempertunjukan hal yang bertentangan dengan keinginan dan hasratnya. Dalam bukunya “My Life in Art” Stanislavsky menulis: “....untuk memberi kesan pada penonton kami terpaksa untuk melakukan pemalsuan terhadap metode-metode akting yang dangkal dan asal-asalan saja dan mencoba untuk terbiasa dengan hal itu”.

Stanisvlasky mencari jawaban akan problem yang pelik tersebut. Ia mencoba menghadirkan “cretive mood” (suasana hati yang kreatif), sesuatu yang tidak dapat merusak proses kreatif sang aktor. Namun sayangnya “creative mood” seperti itu datang dengan sendirinya bagi sang aktor yang berbakat. Seperti sebuah intuisi yang datang begitu saja dan menuntut untuk segara dikerjakan tanpa mempertanyakannya lagi. Bagi mereka yang kurang berbakat, sedang-sedang saja, kondisi kreartif itu hanya datang pada peristiwa-peristiwa tertentu saja; sangat jarang.

Sama halnya dengan menulis, apalagi sebuah tulisan yang diharapkan bebas dari kemapanan seperti Sutardji membutuhkan suatu “creative mood” (dalam hal ini kondisi kreatif). Itu butuh bakat alami. Namun setidaknya saya masih mempunyai kesempatan kecil untuk melakukannya.

Penulis:

Yudha Prakasa

Instagram: @yda_prksa



No comments