Hanya Sekadar Ingin Menulis
Sebuah tulisan yang baik
adalah tulisan yang benar-benar memberikan pemahaman kepada banyak pembaca.
Pemahaman itu meliputi: pengertian, penjelasan, pendefinisian, atau hal-hal
lainnya yang membuat seseorang mengatakan “oh
akhirnya saya paham”.
Anda tidak akan menemukan
hal-hal seperti itu pada setiap tulisan yang akan saya buat nanti—semoga saja.
Saya bukan seorang guru, yang diberi tanggung jawab untuk memberikan banyak
pemahaman dan pengetahuan. Saya hanya ingin sekadar menuliskan apa yang ingin
saya ceritakan.
Memang tidaklah mudah untuk
menulis, saya berulang kali merasakan hal itu—mungkin saja Anda merasakan hal
yang sama—apalagi sebuah tulisan yang begitu sistematis yang berisi banyaknya
konsep-konsep abstrak, dengan gaya tulisan yang formal, saya jamin Anda tidak
akan lagi membaca tulisan tersebut paling
banter jika itu merupakan sebuah keterpaksaan yang mendorong Anda untuk
membacanya lagi.
Di setiap tulisan saya hanya
akan mencoba untuk membebaskan setiap kata, memasangkan sepasang sayap kepada
mereka dan menjadikan mereka seekor burung layang-layang. Itulah yang saya dapatkan
dari sajak-sajak Sutardji.
Ada sebuah kredo yang
terkenal dari sosok Sutardji: mengembalikan kata kepada mantra. Ia melanjutkan:
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata
saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata
meloncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya
sendiri”. Apa yang saya lihat adalah kata harus terlepas dari beban tanggung
jawab makna dan pendefinisian, ia adalah dirinya.
Setiap kata yang baik, dan
mungkin saja benar, adalah bukan ketika Anda ingin mengatakan tentang kata-kata
tersebut, namun ketika sebuah kata menjadi perlu bagi diri mereka sendiri.
Maksud saya begini. Saya
mungkin tidak dapat berfilsafat, berpikir, dan membuat suatu abstraksi bila
saya sendirian. Namun jika saya mencoba untuk mendiskusikan konsep-konsep yang
abstrak tersebut kepada Anda, maka itu membutuhkan sebuah perangkat logika
untuk setiap argumentasi dengan begitu setiap konsepsi abstrak akan muncul
dengan sendirinya.
Saya tidak punya niatan
untuk menulis seperti Sutardji. Bodoh! Begitu sulitnya. Saya hanya terinspirasi
darinya, dan itu bukanlah suatu kesalahan apalagi larangan. Bayangkan sudah 315
kata yang saya tulis—sampai pada kata ini—dan beberapa karakter—Anda bisa
menghitungnya sendiri—saya tidak bisa lepas dari tendensi pendefinisian; makna pada
setiap kata yang ditulis.
Sudah kubilang dari awal
saya hanya sekadar ingin menulis. Itu saja.
Ada suatu dorongan yang
membawa saya sampai ngebet menulis
apapun yang terpikirkan. “Menulislah apapun yang ingin kamu tulis: bacaanmu,
hasil diskusi, pengalaman. Tidak ada yang melarang kamu menulis”, kira-kira
begitulah perkataan seorang guru filsafat yang mengajari saya sebuah “philosophy as a way of life” sewaktu di
Manado.
Anda bisa menyebut apa saja pada
sebuah micro-project yang nanti akan
saya kerjakan ini. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai catatan harian. Itu
bukan tanpa alasan, bagi saya kehidupan keseharian ini sama persis seperti
suatu tragedi yang ditulis dalam naskah drama Shakespear: “Hamlet”. Selayaknya seorang
Hamlet hanya membutuhkan suatu
kebenaran kecil terungkap dan oleh karena itu membuatnya jatuh dalam kegilaan.
Maka saya akan mencoba
membuat beberapa tulisan dari hasil dan proses ekseperensial (baca:pengalaman),
sebuah kontemplasi yang remeh-temeh. Maklumilah, saya belum bisa mencapai
tingkatan yang filosofis. Karena mengerti bahkan memahami adalah untuk
merasakan dan mengalami. Dan itu hanya bisa didapat dalam kehidupan kesaharian.
Untuk mengangkat pengalaman
keseharian itu ke dalam sebuah konsepsi untuk ditulis bukanlah perkara yang
mudah. Semua dari kita mengalami banyak hal setiap harinya, namun tidak satu
pun yang dapat kita tulis. Kalau itu bisa dilakukan maka saya akan menulis setiap
catatan layaknya “Pergolakan Pemikiran Islam”-nya Ahmad Wahib. Jika perlu “Catatan
Pinggir” Goenawan Moehamad.
Saya akan mencoba beranjak
lebih jauh lagi. Bagi Konstantin Stanislavsky, dalam penelitianya di setiap
pementasan teater, seorang aktor dalam memainkan perannya di atas pentas untuk
membuat penonton terkesima ia harus melukiskan apa yang ia tidak rasakan, itu
adalah sebuah “mood” (suasana hati)
yang wajar yang sering terlihat.
Pada kondisi seperti itu
seorang aktor dipaksa mempertunjukan hal yang bertentangan dengan keinginan dan
hasratnya. Dalam bukunya “My Life in Art”
Stanislavsky menulis: “....untuk
memberi kesan pada penonton kami terpaksa untuk melakukan pemalsuan terhadap
metode-metode akting yang dangkal dan asal-asalan saja dan mencoba untuk
terbiasa dengan hal itu”.
Stanisvlasky mencari jawaban
akan problem yang pelik tersebut. Ia mencoba menghadirkan “cretive mood” (suasana hati yang kreatif), sesuatu yang tidak
dapat merusak proses kreatif sang aktor. Namun sayangnya “creative mood” seperti itu datang dengan sendirinya bagi sang
aktor yang berbakat. Seperti sebuah intuisi yang datang begitu saja dan
menuntut untuk segara dikerjakan tanpa mempertanyakannya lagi. Bagi mereka yang
kurang berbakat, sedang-sedang saja, kondisi kreartif itu hanya datang pada
peristiwa-peristiwa tertentu saja; sangat jarang.
Sama halnya dengan menulis,
apalagi sebuah tulisan yang diharapkan bebas dari kemapanan seperti Sutardji
membutuhkan suatu “creative mood” (dalam
hal ini kondisi kreatif). Itu butuh bakat alami. Namun setidaknya saya masih
mempunyai kesempatan kecil untuk melakukannya.
Penulis:
Yudha Prakasa
Instagram: @yda_prksa
Post a Comment