Sepasang Sayap Bernama Kebebasan
Ikaros yang mencoba untuk terbang jauh menuju matahari dengan sepasang sayap buah tangan Daidalos, pada akhirnya jatuh ke dasar laut. Tenggelam. Mati.
Merupakan sebuah mithologi
Yunani, dan kita bisa melihatnya dengan jelas dalam kisah panjang, dan
kompleks, dunia modern.
Penjara bagi Ikaros dan
Daidalos—seorang ayah dan anak—adalah manifestasi dari ruang ketidakbebasan
manusia (aku) dalam merumuskan, alih-alih menentukan, siapa dirinya di
tengah-tengah yang bukan manusia (non aku), subyek-obyek. Maka Daidalos, dengan
tekun, membuatkan sepasang sayap kepada Ikaros untuk terbang keluar dari
penjara raja Minos. “Saat mencoba terbang
jangan terlalu dekat dengan perairan, pasukan Minos akan menembakimu. Jangan
pula terlalu dekat dengan matahari, sayap itu pasti akan meleleh”. Selayaknya
seorang ayah yang menasehati anaknya; “jangan
begini, jangan begitu”.
Cogito
ergo sum Cartesian melihat mitologi itu dengan sangat gamblang.
Pada mulanya adalah res cogitans (aku
yang berpikir).
Dengan itu manusia mencoba
untuk menjadi subyek yang otonom, dan sesuatu yang di luar dirinya tidak
otonom. Kini masalahnya adalah ‘penaklukan’ untuk mendapatkan otonominya—Ikaros
adalah seorang manusia, bukan seekor burung, yang berusaha melawan kodrat.
Dengan subyek yang menjadi
pusat segala sesuatunya, kini membentuk apa yang disebut humanisme. Humanisme yang
dimaksud adalah ‘humanisme penaklukan’, suatu peradaban yang terbentang jauh di
dunia barat—gampangnya kita bisa menyebutnya sebagai Eropa—dengan akar
pemikiran dan budaya, superioritas manusia, dan kolonialismenya.
Perdaban superior itu
memandang peradaban di luar dirinya sebagai peradaban yang “belum menjadi
manusia” atau bagi Franz Fanon, pemikir anti-kolonialisme, sebagai: “undangan
menjadi manusia”. Akhirnya pasukan invansi berlayar, menuju tempat antah-berantah,
dengan semboyan yang mungkin saja kita kenal sejak pelajaran sejarah sekolah
dasar; gold, glory, gospel.
Setelah perang dunia dua, atau
bagi pepatah Jawa “perang wes rampung”,
dimulailah kritik pada humanisme. Kemenangan manusia sekaligus menjadi
kejatuhan manusia itu sendiri.
Namun ingatlah humanisme
juga yang membawa manusia-manusia terjajah keluar dalam identifikasi diri
sebagai “belum manusia”. Humanisme bagi mereka adalah perlawanan, pengakuan. Menjadi
manusia otonom.
Kegagalan humanisme Eropa
sebagai Ikaros yang menuju matahari, tenggelam, dan kemenangan humanisme bagi peradaban yang terjajah sebagai Ikaros yang terus terbang di langit yang terbuka
dengan sepasang sayapnya.
Kini apa yang tersisa bagi
Ikaros? Ia sadar dirinya adalah seorang manusia, sebuah ketentuan yang tidak
bisa tidak. Kehendak bebas untuk menjadi yang bukan dirinya, dan melampauinya adalah
ilusi. Mengerti akan batas-batasnya.
Namun setidaknya Ikaros tetap berusaha, dengan menggunggat entah kepada siapa dan akhirnya jatuh tenggelam.
***
Beberapa hari yang lalu saya baru saja menyelesaikan suatu film yang menarik. Film serial Marvel Cinematic: “Loki”, meski film tersebut baru dirilis satu season.
Dalam “Avengers: Infinity War” Loki digambarkan tewas di tangan Thanos. Namun dalam serial filmnya ia masih memiliki peran untuk hidup. Tentu dengan konsep Multiverse yang membingungkan.
Saat ditangkap oleh organisasi The Time Variance Authority (TVA), karena menyebebakan peristiwa nexus yaitu membuat ketidakstabilan dan kekacauan ruang-waktu. Loki semakin dibuat kagum dengan kekuatan yang besar—jauh di atas Thanos—Time-Keepers yang menjaga ‘waktu’ dan alam semesta untuk tetap stabil.
Sederhannya Time-Keepers-lah yang membuat segala sesuatu telah digariskan untuk terjadi sesuai ketentuan.
Saat itu pun Loki bersama dengan Loki dari Universe lain berusaha untuk melayangkan gugatan pada Time-Keepers akan kebebasan mereka untuk menentukan diri mereka sendiri.
***
Goenawan Mohammad dalam esainya “Pada Suatu Hari, Ikaros” mengajukan suatu pertanyaan: “...hidup lebih baik dijalani dengan menerima kenikmatan yang ada, seperti penggembala yang mensyukuri musim yang jernih. Atau lebih baik hidup ditempuh dengan kerja yang jujur, dengan membajak bumi dan mengarungi laut. Kenapa Ikaros tidak meniru penggembala yang sabar, dan saudagar yang makmur di kapal itu? Kenapa ia harus melawan kodrat manusia yang sudah ditetapkan bahwa ia bukan unggas?” .
Bagi saya ini bukanlah bentuk pesimistis Goenawan Mohammad akan kehidupan manusia. Itu merupakan awal dari sejarah panjang manusia untuk mencari dirinya. Di abad 21 ini tentu kita tidak secara gampangan mengatakan manusia sudah ‘digariskan’ sejak ia lahir. Siapa ia.
Sejarah manusia dipenuhi dengan mencari, dan mengajukan pertanyaan ketimbang menerima jawaban yang sudah disediakan.
Namun ingatlah bagaimanapun kerasnya kita berusaha, Ikaros tetap saja mati saat terbang menuju matahari.
Penulis:
Yudha Prakasa
Post a Comment