BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Albert Camus dan Sebuah Gagasannya yang Kulalui - Media Publikasi

Header Ads

test

Albert Camus dan Sebuah Gagasannya yang Kulalui

Dulu waktu kecil, aku membayangkan bahwa dewasa adalah sebuah masa dimana aku akan banyak melakukan hal yang menyenangkan, tanpa dilarang oleh siapapun, sekian harapan telah kurangkai waktu itu, dan selalu aku jaga dengan kesungguhan. Namun, waktu terasa bergulir begitu cepat, dari hari ke-hari, bulan ke-bulan, dan tahun ke-tahun, aku selalu hidup dari harapan-harapan yang patah kian masa ke-masa, sekumpulan harapan lama telah kuganti dengan sebuah harapan yang baru, ia berdialektika dengan realita satu sama lain, sampai suatu saat aku menyadari bahwa apa yang kuharapkan waktu kecil sudah sangat berbeda dengan harapan yang aku miliki saat ini. Dalam hidup, banyak hal yang tidak jelas, tapi kita selalu berhasil menjalaninya selangkah demi selangkah.

Mencari kebermaknaan hidup, dengan mengenang masa lalu, dan memikirkan masa depan hanya akan akan melemparkan kita pada satu pertanyaan: “untuk apa hidup dan apakah layak kehidupan ini dilanjutkan?”, aku hampir bunuh diri mendalami pertanyaan ini, pergi sendirian kehutan, kepantai, dan berjalan pada malam hari di jalan raya, sambil terus mempertanyakan pertanyaan ini dalam pikiran. Aku pernah menemukan agama, sebagai sebuah jalan yang seakan menjawab pertanyaan itu, namun kian ku cari, ku dalami, dan yang ku dapati hanya sebuah tuhan yang membosankan, yang rapuh, dan yang gampang cemburu melihat ciptaannya menyembah selain dia.

Setelah kian lama aku meninggalkan pertanyaan itu, seperti teori pisau Ockhams—yang diperkenalkan oleh William Ockham (seorang pendeta ordo fransiskus dan ahli logika)—aku memotong pertanyaan itu, karena telah mengganggu banyak aktivitas dalam hidup. Aku Kembali hidup seperti biasanya, makan, minum, pacaran, kuliah, bermain game, dan aktivitasku yang lain hanya semata untuk mencari kebahagiaan, dan ternyata semakin kucari terus menerus semakin aku tidak bahagia. Aku tahu bahwa tak seorang pun di muka bumi ini yang tidak ingin Bahagia. Namun yang perlu saya tanyakan lebih jauh lagi adakah kebahagiaan itu abadi, hingga akhir nafas hidup ini?, bahkan kematian yang pasti pun ada saja ketidakpastiannya, yaitu kapan kita akan mati. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa besok pagi kita masih akan melihat keindahan semburat fajar dari ufuk timur.

Kehidupan kita semua di dunia ini tak ubahnya seperti peralihan suasana hati: dari kesenangan ke kesenangan yang lain, dari penderitaan ke penderitaan lain, dari kekecewaan ke kekecewaan lain, begitulah seterusnya. Ketika kesadaran itu muncul lagi aku kembali bertanya lantas masih bermaknakah hidup ini?

“Hari ini ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu”(Camus, 2014, p.3). ungkapan ini ditulis Albert Camus dalam novelnya yang berjudul “L’Etranger” (orang asing). Dalam novel tersebut camus menunjukan bahwa hidup ini adalah sebuah ke-absurdan, nirmakna, juga Albert Camus menciptakan seorang tokoh yang bernama Mersault, yang tidak lain merupakan representasi dari gagasannya sendiri. Mersault adalah seperti kita, saya, dan anda, yang menjalani rutinitas hidup layaknya seorang manusia biasa, seperti berlibur, punya pacar, dan menghadapi kematian. Namun mersault cukup berbeda daripada umumnya seorang manusia, mersault digambarkan hidup seperti manusia tanpa gairah yang meledak-ledak, dan tanpa emosi yang menjadi-jadi. Terlihat Ketika ibunya meninggal dunia, ia tetap merasa biasa saja, bahkan ketika berhadapan dengan jenazah ibunya, Mersault masih sempat-sempatnya ngopi dan menyalakan rokoknya. Tidak menangis dan tidak ada raut kesedihan.

Hingga pada akhirnya, Mersault dihukum mati karena telah membunuh seorang arab dengan menembaki kepalanya. Pada saat ini Mersault tidak merasa takut atau menyesalinya, tak ada yang membuatnya sedih dan senang. Ketika menarik pelatuk itu pun Mersault dihadapi oleh rasa penasaran untuk menembak kepala orang lain.

sikap Mersault yang pemberani dan tidak pernah bersedih itu patut diapresiasi, karena dengan begitu ia menjadi autentik, tidak terpengaruh dengan anggapan umum yang tidak semua orang mampu melakukannnya adalah hal yang luar biasa. “Meskipun ibu mati hari ini, lantas mengapa? Bukankah kehidupan ini terus berjalan dan kehidupan akan terus seperti itu dengan wajah yang berbeda”. Begitulah kira-kira absurditas yang digambarkan Albert Camus melalui tokoh Mersault tersebut.

Albert Camus telah membangun kerangka absurditasnya dari essainya (Mite Sisifus, 1999) ia menganalogikan absurditas hidup ini dengan Sisifus yang dihukum oleh para dewa karena telah merantai dewa kematian, ada pula yang mengisahkan bahwa Sisifus telah membocorkan rahasia hanya demi air keberkahan. Banyak juga versi lain dari motif kenapa Sisifus dihukum oleh para dewa, tapi pada intinya adalah hukumannya yang dijalani Sisifus adalah terus mendorong batu besar kepuncak gunung, lalu batu itu akan menggelinding ke bawah, dan akan didorong ke atas lagi, terjatuh lagi, didorong lagi. Hukuman yang sangat tragis. Namun klimaks dari essai tersebut adalah Albert Camus menutupnya dengan mengatakan “kita harus membayangkan Sisifus berbahagia!”.

Sampai disini sadarkah bahwa apa yang menjadi isi dari essai Camus itu merupakan analogi dari kita dan seluruh manusia pada umumnya. Jika kita mengambil waktu sejenak untuk merefleksikan hidup ini, kita manusia hidup untuk mendorong batu hingga puncak, perasaan menjadi lega dan bahagia lalu melihat batu itu jatuh menjadikan manusia merasa sedih, kemudian manusia dituntut untuk mendorong batu itu lagi dengan segenap perasaan yang menderita. Begitu seterusnya.

Lantas masihkah hidup ini bermakna? Jika hidup benar begitu adanya, layakkah kehidupan ini di lanjutkan? Atau pertanyaan paling layak diajukan ialah, bagaimana seharusnya manusia hidup?

Menjawab pertanyaan “bagaimana” tersebut merupakan hal yang amat sulit dan sukar. banyak oleh para pemikir, agamawan, bahkan politikus yang merumuskan bagaimana manusia hidup, tetapi tak ada satupun jawaban yang memuaskan manusia dalam pencariannya. Dengan begitu, apakah bunuh diri merupakan sebuah solusi dari ketidakjelasan, keabsurdan, dan getir takdir yang dilalui manusia? Tidak.

“Haruskah aku bunuh diri, atau meminum secangkir kopi?” ucap Albert Camus. Ini menandakan bahwa dengan bunuh diri, tidak secara pasti membuat manusia terlepas dari keabsurdan dan merengkuh kebahagiaannya, lebih baik meminum secangkir kopi daripada menghabisi diri sendiri. Mengapa demikian?

Manusia banyak terjebak pada penderitaan, lalu berlarian pada kebahagiaan semu, dan Kembali menemui kepiluannya. Ada yang masih hidup dengan masa lalunya, ada juga yang hidup hanya untuk masa depannya. Padahal saya sudah katakana tadi, tak ada satupun yang bisa memastikan esok pagi kita masih bisa melihat semburat fajar dari ufuk timur.

Saat menyadari bahwa hidup adalah sebuah ketidakpastian dan keabsurdan yang total, maka manusia tak harus bersikap denial dan tak perlu berlari kemana-mana untuk menemukan makna serta kebahagiaan yang abadi. Manusia cukup menikmati, mengiakan sekaligus menolak apapun tentang hidup. Berkata iya bahwa hidup memang absurd dan melulu tak pasti; berkata tidak atau menolak pada ketenggelaman dan mengakhiri hidup. Biar kehidupan itu sendiri yang mematikan manusia, karena hidup selalu, meminjam dari Heidegger, berada menuju kematian.

Menikmati hari ini, menikmati absurditas ini, merupakan bentuk menghidupi kehidupan dengan rasa syukur yang mendalam. Kita harus menikmati segala sudut dengan semua yang terjadi dan siap berdiri tegak menantang segala kemungkinan dan ketidakpastian yang akan terjadi. Selain itu, kita harus bersikap biasa-biasa saja dalam menghadapi apapun yang terjadi. Seperti Mersault-nya Albert Camus, seperti itulah hidup yang memberontak, tenang, tentram, dan bermakna dalam ketidakbermaknaannya.

Sesekali juga perlu mendengarkan gaung Nietszche: “fatum brutum amorfati” (cintailah takdir meski itu kejam). Hidup berjalan sewajarnya, melakukan apa yang mesti dilakukan, berbahagia secukupnya, bersedih secukupnya, dan selalu biasa saja dengan kebiasaan maupun menghadapi keluarbiasaan. Dengan begitu, kita akan mudah tersenyum melankolis dan tak lupa Albert Camus juga akan menemani kita dengan senyumannya.


 Penulis:




Nuzul Bayahi

No comments