BUDI UTOMO LITERASI

MOHON MAAF JIKA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN,PENGUATAN BUDAYA LITERASI ADALAH KUNCI MEMAJUKAN NEGERI INI Para Pembuat Sejarah - Media Publikasi

Header Ads

test

Para Pembuat Sejarah

 

Saya ingin memulai percakapan ini dengan suatu kutipan dari Edward Said “…kerajaanku bukan dari dunia ini” dalam karyanya: Representations of The Intellectual. Ada segelintir orang, mungkin juga sangat banyak, yang menghabiskan hidupnya di dalam sebuah ruangan perpustakaan, atau kamar kecil yang jarang dimasuki oleh sinar matahari dengan setumpuk buku bacaan. Orang-orang itu, yang kemungkinan, tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi mencari kebahagiaan intelektual dari berbagai sumber: filsafat, seni, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Bagi Edward Said, orang-orang seperti itu telah membangun sebuah kerajaan yang bukan dari dunia ini.

Namun masalahnya adalah apakah dengan begitu, tidak semua manusia berhak masuk dalam golongan yang disebutkan Edward Said? Bukankah manusia memiliki akal budi untuk memahami asumsi-asumsi metafisis, mengapresiasi seni, atau mempelajari ilmu pengetahuan? Siapakah orang yang disebut intelektual itu?

Sebuah fakta yang benar bahwa semua manusia memang memiliki akal budi untuk memahami segala sesuatunya, namun harus diakui bahwa tidak semuanya bisa menjalankan fungsi dan perannya sebagai intelektual.

Dari sini kita bisa memetakkan terdapat dua golongan yang bisa menjalankan fungsi dan peran tersebut. Golongan yang satu adalah mereka yang melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus, dan tidak mempersoalkan banyak apa yang sedang mereka kerjakan. Golongan ini termasuk para guru, administrator, atau bahkan pemimpin agama.

Golongan yang lain adalah mereka yang telah berafiliasi dengan sebuah organisasi besar atau suatu kelas sosial tertentu, yang dimana mereka akan melakukan pekerjaan untuk kepentingan kelas atau organisasinya. Golongan ini termasuk para politisi, konsultan bisnis, dan teknisi dalam suatu indistri. Bagi Gramsci golongan pertama disebut sebagai intelektual tradisional dan golongan yang kedua disebut intelektual organik.

Bagaimana dengan orang-orang yang pada dasarnya hanya sebatas mencari suatu kebahagiaan intelektual dalam buku bacaan, sambil mengurung diri dalam kamar tanpa cahaya matahari atau di ruang-ruang perpustakaan yang jika ditanya mereka akan menjawab “kerajaanku bukan dari dunia ini”.

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya akan bercerita sedikit. Suatu ketika teman saya bertanya: “lu kan suka membaca, nah setelah membaca buku yang banyak apa yang lu lakukan pada buku-buku tersebut?”. “Gue gak tahu bang” jawabku. 

Pertanyaan seperti itu begitu sulit untuk saya jawab, padahal saya telah melakukan aktivitas membaca, kadang-kadang juga menulis suatu refleksi hasil bacaan, selama enam tahun terakhir secara intens. Ada suatu shock culture ketika saya berada di tengah-tengah golongan masyarakat yang pada dasarnya adalah mereka yang tidak benar-benar sepenuhnya menjalankan fungsi seorang intelektual yang sebagaimana disebut oleh Edward Said.

Dari sinilah saya mulai menyadari bahwa fungsi dan peran sebagai intelektual itu seperti apa. Apakah hanya sekadar mengejar kebahagiaan saat membaca setumpuk buku, dan bercita-cita membentuk kerajaannya sendiri.

Ada sebuah posisi yang harus diisi di tengah-tengah kehidupan publik, posisi yang dimana telah ada sejak kebudayaan manusia dibangun menjadi sebesar sekarang: posisi sebagai sang pembuat sejarah. Pasalnya sejarah selalu berada dalam satu garis waktu yang sama dengan “yang kini” dan “yang akan datang”. Orang-orang yang mengisi posisi pembentuk sejarah sudah pasti adalah intelektual. 

Maka sangat tidak cukup jika seorang intelektual hanya sekadar menikamati kebahagiaan dalam kerajaan pikirannya sendiri. Bagiku ia harus merasa terpanggil dalam tugas representasional pada setiap pemikiran yang diartikulasikannya di depan publik. Tugas itu sangat memerlukan suatu keberanian dan rasa berkorban, bahkan pada dirinya sendiri, yang begitu besar.

Ambisi egoisme hilang dan berganti dengan rasa kesediaan pada kebudayaan dan lingkungan sosial yaitu ia yang memiliki kecenderungan untuk mempersoalkan dan menentang nilai-nilai dan norma yang berlaku. Norma-norma umum yang mendominasi tersebut sering berhubungan erat dengan persoalan suatu bangsa.

Dengan tidak selalu mencari kebahagiaan intelektual semata, maka fungsi pengetahuan hanya menjadi, apa yang Mohammad Hatta sebut sebagai, “jembatan keledai”. Hatta percaya adanya suatu yang substantial pada ilmu pengetahuan, namun di sisi lain ilmu pengetahuan tersebut tidak semata-mata hanya menjadi kebenaran. Pengetahuan itu adalah sebuah alat untuk mencari kebenaran itu sendiri. Bagi seorang intelektual ilmu pengetahuan adalah suatu cara untuk mendapatkan keyakinan idelogis dan weltanschauung (pandangan dunia).

Dari sini terlihat perbedaan antara seorang ilmuwan dan seorang intelektual. Bahwa ilmuwan akan cenderung mengubah kepercayaan dan nilai menjadi informasi dan pengetahuan, sementara seorang intelektual adalah ia yang sanggup mengubah informasi dan pengetahuan menjadi nilai, keyakinan ideologis, dan komitmen politik.

Intelektual juga yang akan menerobos batas-batas disiplin keilmuannya, karena tujuannya bukanlah sekadar membangun suatu struktur pengetahuan melainkan menyelesaikan persoalan kepentingan publik. Intelektual adalah seorang man thinking.

Saya bisa mengatakan bahwa seorang kutu buku tidak mesti seorang intelektual, namun seorang intelektual adalah seorang kutu buku. Maksud saya begini, kadangkala seorang kutu buku merasa ketagihan dan hanyut pada setiap buku bacaannya dan terseret oleh pelbagai pemikiran atau gagasan, mengahapal banyak kutipan buku tapi tidak tahu hendak diapakan buku dan kutipan-kutipan tersebut.

Beda halnya dengan seorang intelektual yang kian hari terus merasah resah dengan peroalan publik, ia adalah seorang pemikir yang berdikari sekaligus pembaca yang lahap. Dalam hal ini setiap bacaannya adalah sebuah instrument ketika ada kebuntuhan untuk menjawab setiap persoalan.

Bagi saya kelompok yang pertama adalah dia yang telah dijajah oleh buku yang bicanya, dan kelompok yang kedua adalah dia yang mengusai buku yang bacanya. Itulah kenapa seorang pembuat sejarah adalah dia yang terbebas dari buku bacaannya sendiri.


Penulis:

Yudha Prakasa


No comments